Sebab lain munculnya kartelisasi politik adalah karena hamper semua parpol di Indonesia sangat bergantung pada negara dalam hal pemenuhan kebutuhan finansial. Kebergantungan ini, disebabkan oleh merosotnya secara tajam kemampuan mobilisasi keuangan parpol melalui iuran anggota.
Menyurutnya basis tradisional sumber keuangan ini kemudian membawa parpol untuk lebih mendekat ke negara dan menjauh dari masyarakat. Dan kebergantungan mereka pada subsidi negara melalui proses subversi pada akhirnya menentukan kelangsungan hidup partai dan memicu munculnya jenis kartel.
Muncul dan terus berlangsungnya kartel tersebut bermula dari kebutuhan partai untuk mengamankan akses mereka ke dana-dana non budgeter.
Pada titik ini, ada dua kemungkinana. Pertama, partpol dapat melakukannya secara individual dan kedua secara kolektif.
Namun karena berbagai parpol terlibat dalam perburuan rente serupa yang merupakan aktivitas ilegal mereka sama-sama berada dalam situasi yang mirip. Mereka menjalani dan mengalami nasib politik dan ekonomi sebagai satu kelompok.
Begitu salah satu anggota kelompok menyingkap perburuan rente ilegal tertentu, maka sangat mungkin tercipta guncangan politik. Karena itu, kartel harus dijaga bersama.
Dengan demikian, kebutuhan untuk menjaga kelangsungan hidup bersama menjelaskan sifat sistem kepartaian yang dihasilkan, yakni sistem kepartaian yang terkartelisasi. Ideologi dan program partai dengan demikian hanya bersifat sekunder.
Dengan demikian, apa boleh buat, arena persaingan demokrasi seperti pileg, pilpres maupun pilkada bukan lagi manifestasi penghormatan atas suara rakyat, melainkan satu periode yang membuka lebar bazar kompromi, mengatur ulang posisi kekuatan politik masing-masing. []