Scroll untuk baca artikel
Terkini

Jumlah Kekambuhan Merokok pada Anak Meningkat, PKJS-UI Beri Rekomendasi Kebijakan

Redaksi
×

Jumlah Kekambuhan Merokok pada Anak Meningkat, PKJS-UI Beri Rekomendasi Kebijakan

Sebarkan artikel ini

Risky Kusuma Hartono, Ph.D, Tim Riset PKJS-UI menyampaikan, angka smoking relapse anak masih relatif tinggi, yakni 50% ke atas pada 2009-2019.

Dia menambahkan, probabilitas smoking relapse pada anak berjenis kelamin laki-laki 0,225 (p<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan pada 2019, dan terjadi terutama pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu pada kelas 8 dan 9.

Selanjutnya, Risky mengungkapkan, kenaikan harga rokok per bungkus maupun harga rokok per batang dapat menurunkan probabilitas anak untuk smoking relapse atau tidak kembali berperilaku merokok.

“Harga rokok >Rp2.100 per batang menurunkan peluang smoking relapse pada anak sebesar -0,037 (p<0,01). Sedangkan, harga rokok kategori >Rp31.000 per bungkus memiliki nilai probabilitas paling besar menurunkan peluang smoking relapse pada anak sebesar -0,279 (p<0,01),” jelasnya.

Dia juga menjelaskan, faktor non-harga, seperti pengguna rokok elektronik (0,129) dan teman sebaya perokok (0,110) berpeluang meningkatkan smoking relapse pada anak.

“Terpapar iklan, promosi, dan sponsor rokok dari majalah, media sosial, TV, kegiatan olahraga, serta pemberian rokok gratis juga berasosiasi dengan smoking relapse pada anak,” ungkapnya.

Rekomendasi PKJS-UI untuk Menekan Tingkat Kekambuhan Merokok pada Anak

Muhammad Abdul Rohman, S.E., Tim Riset PKJS-UI menambahkan, walaupun sama-sama terdapat kenaikan harga, pembelian rokok secara per bungkus menunjukkan kecenderungan penurunan smoking relapse yang lebih curam pada anak dibandingkan pembelian rokok secara ketengan.

“Hal ini menunjukkan, pembelian rokok per bungkus memiliki dampak yang lebih besar dalam mencegah smoking relapse pada anak dibandingkan pembelian rokok batangan atau ketengan,” tambahnya.

Oleh karena itu, studi ini memberikan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

  1. Studi ini mendukung pentingnya kenaikan cukai rokok yang telah ditetapkan pada 2023 dan 2024. Namun, masih perlu adanya kenaikan harga rokok yang lebih tinggi lagi di tahun selanjutnya, dan disertai simplifikasi tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk mencegah smoking relapse pada anak dan mencapai target prevalensi perokok anak,
  2. Pemerintah harus melarang penjualan rokok secara batangan/ ketengan untuk mencegah smoking relapse dan mencapai target prevalensi perokok anak,
  3. Pemerintah harus melarang total iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media guna mendukung anak untuk konsisten berhenti berperilaku merokok,
  4. Penggunaan rokok elektronik harus diatur lebih ketat dari sisi kebijakan harga maupun non-harga, dan
  5. Pihak sekolah harus memberikan pengawasan dan sanksi yang tegas kepada siswa yang kedapatan merokok.

Ketua PKJS-UI, Ir. Aryana Satrya, M.M, Ph.D., IPU., ASEAN Eng., mengatakan, masih banyak faktor yang sebenarnya dapat membuat anak akhirnya merokok kembali setelah sebelumnya berhenti merokok (smoking relapse).

“Studi ini juga menjadi pendorong untuk pemerintah dapat menerapkan kebijakan lainnya dalam memperkuat pengendalian konsumsi rokok di Indonesia menuju pencapaian target penurunan prevalensi perokok anak pada RPJMN 2024, termasuk sejalan dengan kebijakan kenaikan cukai rokok di tahun 2023 dan 2024, yang diharapkan untuk tahun selanjutnya kenaikan harga rokok harus lebih tinggi,” tegasnya.

Selain itu, studi ini menjadi bukti tambahan untuk memperkuat implementasi rencana pelarangan penjualan rokok ketengan di tahun 2023 yang dituangkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022. Kebijakan dari sisi non-harga yang perlu segera dilakukan ialah revisi Peraturan Pemerintah No. 109/2012, kata Aryana.