Opini

Keberanian Jerman di Saat Krisis Energi, Apa yang Harus Ditiru Indonesia

Yayat R Cipasang
×

Keberanian Jerman di Saat Krisis Energi, Apa yang Harus Ditiru Indonesia

Sebarkan artikel ini
PLTN Isar di Jerman

KABAR mengejutkan datang dari Jerman. Negara ekonomi terkuat di Benua Biru tersebut memutuskan, mulai Sabtu (15/4/2023) menghentikan secara permanen 3 reaktor nuklir terakhir pembangkit listrik dari total 17 reaktor yang dimiliknya.

Kabar penutupan tersebut sudah santer sejak Konselir Angela Merkel. Namun, sempat tertunda menyusul perang Rusia-Ukraina. Jerman yang merupakan sekutu Amerika Serikat memberikan sanksi ekonomi ke Rusia dan Presiden Vladimir Putin membalasnya dengan mengkorting suplai gas alam cair lewat jaringan pipa bawah lautnya. Krisis energi tambah parah setelah pipa gas tersebut disabotase.

Seperti dilaporkan The New York Times edisi daring, keputusan Jerman menghentikan operasional reaktor nuklir bukan tanpa pertentangan. Terutama dari para pengusaha dan industri. Bahkan para ilmuwan pun sampai harus menulis surat kepada Konselir Olaf Scholz untuk tidak terburu-buru menutup reaktor nuklir lantaran khawatir terjadi krisis energi. Belum lagi perang antara Rusia-Ukraina yang belum bisa diprediksi kapan berakhir.

Perlu Belajar dari Jerman

Sikap tegas atas keputusan yang diambil Pemerintah Jerman patut diapresiasi. Ketika sejumlah negara Eropa lain justru menambah reaktor nuklir — seperti Polandia, Prancis, Inggris dan Finlandia — Jerman justru menutupnya.

Sampai-sampai pakar iklim dan energi asal Belgia Georg Zachmann menyebut Jerman sangat nekat. “Saya tidak akan membantah bahwa hanya orang Jerman yang gila,” puji Zachmann seperti dikutip dari The New York Times.

Tentu, Jerman bukan tanpa perhitungan. Ujian Jerman sebenarnya adalah musim dingin yang baru lalu. Ternyata dapat dilalui dengan selamat dan tanpa gejolak. Jerman dapat memaksimalkan potensi yang ada dan tentu saja penghematan yang tidak hanya dilakukan Pemerintah tetapi juga partisipasi masyarakatnya.

Karena itu pentingnya di sebuah negara Pemerintah dipercaya oleh mayoritas rakyatnya. Masyarakatnya bersatu termasuk oposisi dan kelompok yang berseberangan. Dampaknya sangat positif. Ketika negara menghadapi kemungkinan krisis, masyarakat yang berbeda pandangan pun mendukung pemerintah. Ketika Pemerintah atau negara tengah susah rakyat pun tidak ada yang dendam.

Hebatnya Jerman yang tidak memelihara buzzer karena tahu konsekuensi dalam demokrasi harus ada oposisi. Kelompok ini menjadi mitra kritis Pemerintah bukan justru dianggap musuh penguasa.

Jerman sangat matang dan hakkul yakin dengan keputusannya. Ketergantungan 55 persen energinya dari Rusia ternyata tidak membuat mereka alami kritis di musim dingin. Jerman justru menemukan model baru pengadaan gas alam cair. Dibandingkan membeli gas langsung dari Rusia lewat pipa di laut ternyata lebih murah membeli gas alam cair lewat kargo laut.

Di sinilah Jerman menemukan sebuah adagium yang selama ini dipercaya motivator, justru di saat krisis ditemukan peluang dan tantangan baru.

Indonesia Kebalikannya

Disandingkan dengan Jerman, Indonesia justru kebalikannya. Sekelompok orang dan elite negeri ini justru menebar isu agar Indonesia mengembangkan energi nuklir untuk kebutuhan listrik.

Sementara sejumlah ilmuwan dan aktivis lingkungan mengkhawatirkan dampak jangka panjangnya. Indonesia yang dikelilingi cincin api dan wilayah patahan rawan gempa bumi, dampaknya bisa seperti reaktor nuklir di Fukushima Jepang pada 2011 yang sampai sekarang masih dirasakan dan belum tertangani dengan baik. Itu di negara maju bagaimana dengan di Indonesia?