BARISAN.CO – Jaringan Nasional (Jarnas) yang diinisiasi oleh orang-orang yang kenal dengan Anies Baswedan sejak zaman kuliah. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia.
Sekjen Jarnas, Dendy Susianto mengatakan, karena persahabatan sudah terjalin lama, maka saat bertemu, bukan memanggilnya dengan sapaan pak, melainkan mas.
“Mungkin berbeda dengan simpul relawan lain yang baru kenal mas Anies ketika sudah di Jakarta, menjabat Gubernur atau Menteri. Kalau manggil Pak Anies malah jadi kaku,” katanya pada Selasa (13/12/2022)
Menurut Dendy, atas lamanya persahabatan yang terjalin itulah, loyalitas Jarnas tidak perlu untuk dipertanyakan.
“Mas Anies tidak perlu mempertanyakan jarnas, begitu juga sebaliknya. Sehingga, Jarnas ini sikap politiknya tegas lurus dengan sikap politik mas Anies,” lanjutnya.
Dia menambahkan, sikap tegak lurus itu, Dendy menambahkan, ekstremnya bahkan jika Anis berpasangan dengan Puan Maharani, maka Jarnas akan tetap mendukung.
“Mau berpasangan dengan siapa pun, Jarnas ini sudah tegak lurus,” tambahnya.
Dendy menyampaikan, sudah dua tahun, Jarnas berdiri. Dia mengakui, memang tahun pertama tidak terbuka.
“Tidak mendeklarasikan seperti simpul yang lain, tapi Jarnas secara silent. Waktu itu kan mas Anies masih gubernur,” imbuhnya.
Dendy menjelaskan, di tahun pertama, Jarnas itu silent. Mereka menggunakan strategi senyap dan merayap.
“Kalau di sekolah politik Jarnas dijelaskan panjang lebar, materinya ada di situ soal senyap dan merayap, kita bergerak di seluruh Indonesia, tapi tidak muncul di media. Jadi, banyak teman-teman yang tidak tahu pergerakan Jarnas dan banyak yang salah paham juga,” jelasnya.
Sementara, di tahun kedua, Jarnas sudah terbuka di media. Berbeda di tahun pertama, di tahun kedua, strateginya adalah tenang dan terukur.
“Kita tetap melakukan pergerakan di masyarakat, tidak terlalu overacting, tetap bisa di media sosial, media massa, kita publikasi. Tapi tidak overacting melakukan demo, hal-hal yang memancing perhatian terlalu berlebihan,” ujarnya.
Dendy mengungkapkan, terukur itu berarti memiliki target yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu.
“Misalnya di Provinsi A sekian, nasional sekian juta orang. Sampai di tingkat desa setiap desa harus punya berapa relawan, semua ada angkanya dan teknik dalam mencapainya,” ungkap Dendy.
Sebagai salah satu simpul yang kenal dekat dengan Anies, Dendy menyebut, Jarnas justru “sengaja mengambil peran yang paling susah”.
“Peran yang paling susah adalah membangun struktur hingga level TPS, mengawal suara, sampai pelaporannya. Bahasa singkatnya, menempatkan minimal dua saksi di setiap TPS,” ucapnya.
Dendy menuturkan, itu yang paling berat dalam pemilihan elektoral, bahkan partai juga merasa paling berat di situ.
“Hanya PDIP dan PKS yang mampu punya kader militan mengawal saksi di TPS. Partai lain ga mampu,” sambungnya.
Dendy membeberkan, kalau peran yang sifatnya aksi kampanye, bakti sosial itu lebih mudah, namun menempatkan saksi di tiap TPS berhubungan dengan sumber daya manusia (SDM) dan dana yang besar hingga hari H.
Saat ditanya soal apa yang akan dilakukan Jarnas pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Dendy menegaskan, baik secara organisasi dan relawan akan membubarkan diri.
“Kalau kalah otomatis bubar. Kalau menang, kayak relawan Jokowi Projo, itu kan ga bubar, kalau Jarnas, secara relawan membubarkan diri karena sudah menang, mas Anies menjadi Presiden Indonesia bukan Presiden relawan,” tegasnya.
Dendy menerangkan, tidak ada Presiden relawan dalam pandangan Jarnas.
“Kalau jadi Presiden, Presiden Indonesia. Tapi, kalau nanti Jarnas elemennya misalnya membangun partai politik, itu sebagai elemen masyarakat yang ingin membangun partai bukan sebagai relawan lagi,” pungkasnya.