BARISAN.CO – Beberapa anak dikabarkan mengalami sindrom yang aneh dimana mereka tertidur begitu lama hingga situasi dirasa cukup aman. Dikenal sebagai resignation syndrome atau sindrom pengunduran diri yang dalam bahasa Swedia disebut Uppgivenhetssyndrom.
Sindrom ini menyebabkan anak-anak berhenti berjalan, berbicara, serta makan. Dalam kondisi seperti koma, mereka berbaring dengan mata tertutup dan memutuskan hubungan dengan dunia.
Kisah anak-anak yang mengalami sindrom pengunduran diri dimuat dalam film dokumenter berjudul ‘Life Overtakes Me’. Dalam cengkeraman trauma, ketidakpastian membuat ratusan anak pengungsi di Swedia menarik diri mereka dari dunia. Hidup dipenuhi kekhawatiran dan disaat terbangun, anak-anak itu tidak menyadari waktu yang dihabiskan untuk tidur. Ada yang berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-bertahun.
Dikutip dari doctoroftheworld.org, Dr. Elisabeth Hultcrants mengatakan trauma merupakan faktor kunci penyebab sindrom pengunduran diri. Banyak anak yang terkena dampak setelah menyaksikan kekerasan ekstrem terhadap anggota keluarga atau telah tinggal di lingkungan yang sangat tidak aman dari negara asalnya.
Sindrom pengunduran diri pertama kali ditemukan pada akhir 1990-an, dan dari 2003 hingga 2005 telah lebih dari 400 kasus yang dilaporkan. Akan tetapi, sindrom ini hanya diamati di Swedia, padahal gejalanya telah dicatat seperti pada kamps konsentrasi Nazi di Perang Dunia II.
Mayoritas profesional mempercayai jika cara untuk memulihkan anak-anak tersebut bergantung dengan membangun rasa aman serta resolusi positif dari klaim suaka keluarga mereka di Swedia yang dianggap sebagai negara paling ramah terhadap pengungsi.
Selain itu, sekolompok dokter yang merawat anak-anak dengan sindrom pengunduran diri berpendapat bahwa mereka terbangun dan kembali ke dunia setelah mendapatkan keluarganya memperoleh suaka permanen.
Swedia menerima lebih banyak pengungsi dibandingkan negara lain di benua Eropa. Tahun 2015, sebanyak 163.000 jiwa mengajukan suaka di Swedia. Sayangnya, kekhawatiran sistem kesejahteraan yang membebani dan sumber daya publik yang sedikit membuat aturan negara tersebut membatasi jumlah penerima suaka di negara itu.
Selain itu, air mata dan kesepian yang tak terungkap menjadi tekanan tersendiri bagi anak-anak yang memunculkan sindrom pengunduran diri yang berdampak pada perilaku dan harapan untuk memperoleh keamanan di negara yang dituju untuk mendapatkan suaka.
Tidak semua anak-anak dapat mengeluarkan emosinya berupa luapan kata-kata maupun air mata. Mereka yang menahan dan memilih untuk mengundurkan diri adalah korban betapa kejamnya dunia terhadap mereka sehingga menyebabkan tekanan psikologis dan fisik yang terkadang tertahan untuk diluapkan. [rif]