Scroll untuk baca artikel
Kolom

Koperasi Merah Putih: Antara Semangat Konstitusi dan Ancaman Sentralisasi Baru

×

Koperasi Merah Putih: Antara Semangat Konstitusi dan Ancaman Sentralisasi Baru

Sebarkan artikel ini
koperasi merah putih
Ilustrasi

Dalam situasi seperti ini, peluncuran program ambisius tanpa perencanaan matang justru bisa memperburuk keadaan.

Koperasi sebagai entitas bisnis tidak cukup hanya memiliki badan hukum; ia harus dilengkapi dengan perhitungan risiko, model bisnis berkelanjutan, serta manajemen yang solid.

Fakta bahwa KMP tidak memiliki manajemen risiko yang memadai dalam menjalankan bisnis seperti distribusi gas elpiji, cold storage, atau unit usaha lainnya memperlihatkan kerapuhan struktur internal yang dapat berujung pada kegagalan sistemik.

Lebih jauh, secara sosial budaya, pendekatan pemerintah dalam membentuk koperasi seperti KMP ini memperlihatkan kegagalan dalam memahami dinamika masyarakat lokal.

Indonesia adalah negara yang sangat beragam, baik dari sisi budaya, adat, hingga struktur sosial. Dalam konteks ini, koperasi seharusnya menjadi lembaga yang tumbuh dari karakteristik komunitasnya, bukan dibentuk seragam dari pusat.

Ketika model koperasi diseragamkan secara nasional tanpa memperhatikan konteks sosial lokal, maka ada risiko pengabaian terhadap nilai-nilai gotong royong, musyawarah, dan partisipasi yang menjadi fondasi masyarakat Indonesia.

Pendekatan birokratis dan struktural top-down bisa menciptakan koperasi yang “asing” di tengah masyarakat. Apalagi jika proses pendiriannya tidak melibatkan aspirasi warga, tetapi hanya sekadar formalitas administrasi.

Hal ini bukan hanya mencederai kedaulatan ekonomi masyarakat, tetapi juga berpotensi mengikis rasa memiliki masyarakat terhadap koperasi tersebut.

Pada akhirnya, koperasi bisa hanya menjadi bangunan fisik dan entitas hukum tanpa roh, tanpa kehidupan, dan tanpa keberlanjutan.

Masalah lainnya adalah kekaburan bentuk institusional KMP. Banyak pihak mempertanyakan: “Kopdes ini makhluk apa?” pertanyaan retoris yang menggambarkan betapa belum jelasnya struktur, konsep operasional, dan sistem pengelolaan koperasi ini.

Dengan belum adanya Standard Operating Procedure (SOP) yang baku, serta rencana bisnis yang rinci, KMP tampak lebih seperti gagasan mendadak yang dikebut untuk kepentingan politis jangka pendek, daripada solusi jangka panjang pemberdayaan ekonomi rakyat.

Kritik lain yang tidak boleh dilupakan adalah soal inklusivitas. Inklusi koperasi di Indonesia masih rendah. Banyak kelompok masyarakat terutama yang marjinal tidak merasakan manfaat langsung dari koperasi.

Maka pertanyaannya: apakah KMP akan mampu menjangkau mereka, atau hanya akan menjadi koperasi-koperasi elitis yang berada dalam kendali segelintir orang?

Koperasi Merah Putih, dengan segala ambisinya, tentu tidak sepenuhnya buruk. Namun, kegagalan memahami prinsip-prinsip dasar koperasi, lemahnya tata kelola, pendekatan yang sentralistik, serta minimnya perhitungan risiko membuat koperasi ini justru berpotensi menjadi beban baru, bukan solusi ekonomi rakyat.