Di satu sisi, dukungan mengalir lantaran nuklir dianggap efektif mengurangi emisi karbon. Dalam 50 tahun terakhir misalnya, menurut laporan International Energy Agency, nuklir tercatat berhasil mereduksi emisi global sampai dengan 50 gigaton CO2. Nuklir juga telah menyumbang 10% energi listrik secara global.
Di sisi berseberangan, publik menilai pengembangan nuklir memakan biaya 5 kali lebih mahal dibanding alternatif lain. Menukil laporan Greenpeace, nuklir juga dianggap tidak efisien, lamban, rentan diserang, serta menguarkan radioaktif berbahaya bagi kesehatan.
Soal Pemanfaatan Biomassa
Dimasukkannya biomassa sebagai sumber energi baru dalam RUU EBET juga dinilai kontroversial. Mengingat bahan baku utama jenis energi ini diperoleh melalui pembakaran kayu, pelet, briket, serbuk gergaji, ranting dan daun, dan lain-lain dalam jumlah besar.
Ada kekhawatiran besar bahwa pemanfaatan biomassa dapat memicu deforestasi. Pembakaran biomassa juga dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana, yang mempercepat perubahan iklim.
Secara umum, RUU EBET sepertinya memang masih perlu dibahas habis-habisan sebelum disahkan. Publik tentu berharap RUU ini dapat mendorong pemanfaatan energi alternatif seperti energi surya, panas bumi, dan angin. [dmr]