Karena itu, ekspektasi orang tua terhadap keunggulan anak baik dari sisi kecerdasan, fisik, maupun akhlak perlu diimbangi dengan pola asuh yang tepat di setiap tahapan.
Banyak orang tua menghadapi kesulitan ketika anak memasuki usia remaja karena adanya kesalahan pola asuh di fase sebelumnya.
Jika masa pertama diwarnai dengan kekerasan atau kurangnya perhatian, besar kemungkinan fase kedua dan ketiga dilalui dengan hambatan komunikasi, jarak emosional, bahkan penolakan dari anak.
Di sinilah angka 7 memiliki makna mendalam bagi orang tua. Keberhasilan mendidik anak pada 7 tahun ketiga sangat bergantung pada keberhasilan di dua fase sebelumnya.
Jika fondasi 7 tahun pertama rapuh, fase berikutnya akan semakin berat. Sebaliknya, ketika anak dibesarkan dengan pola asuh yang sesuai tahapnya, hubungan orang tua dan anak akan terjalin lebih hangat, harmonis, dan saling percaya.
Fenomena renggangnya hubungan orang tua dan anak dewasa pada banyak keluarga saat ini sering kali berakar dari ketidaktepatan pola asuh sejak kecil.
Pada akhirnya, angka 7 yang dikalikan 3 dalam konsep ini mengajarkan bahwa pendidikan anak adalah perjalanan bertahap yang harus dibangun dengan kesabaran, ilmu, dan perhatian menyeluruh.
Ada keajaiban dalam setiap fase usia, dan setiap fase memiliki tanggung jawab yang berbeda. Anak yang tumbuh dengan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual berpeluang menjadi pribadi yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, agamanya, dan bangsanya.
Semoga pemahaman ini menjadi inspirasi bagi para orang tua untuk terus memperbaiki pola asuh sebagai bentuk rasa syukur atas amanah besar yang dititipkan Allah Swt. []
Sumber bacaan: Nia Hidayati, “Arti Angka 7 Keajaiban untuk Anak.”









