Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Mari Tanam Pohon di Depan Rumah, Walau Esok Pagi Kiamat

Redaksi
×

Mari Tanam Pohon di Depan Rumah, Walau Esok Pagi Kiamat

Sebarkan artikel ini
tanam pohon
Ilustrasi foto/Pexels.com

Banjir rob di Semarang dan Demak bagian utara. Sejak 2005-an hingga hari ini, tambak-tambak sudah tak berfungsi karena benar-benar telah berubah menjadi laut

Oleh: Ardi Kafha
(Pegiat Taman Baca)

ROB adalah kenyataan. Banjir yang terjadi karena pasang air laut ini terjadi di Semarang dan Demak bagian utara.

Sebuah kombinasi yang tak terelakkan antara kenaikan muka air laut dan penurunan permukaan tanah di daratan, membuat dua kota bagian utara tersebut rentan rob.

Tentunya saya tak berkapasitas untuk melihat persoalan itu dari sudut pandang akademisi atau pun aktivis lingkungan. Saya bukanlah seorang yang mendalami isu krisis iklim, persisnya terkait sosial ekologis. Saya hanyalah seorang yang selama ini sedikit menghayati tasawuf.

Bahwa kenyataan mulai dari partikel benda mati, alam nabati, alam hewani, dan alam insani, ada berkat sifat al-Rahman Allah. Keberadaan mereka itu menjelaskan kegaiban Tuhan.

Bahwa Allah itu gaib, tetapi pancaran al-Rahman terlihat jelas. Semua yang ada di alam ini, termasuk semua fasilitas yang melekat di kita seperti mata, telinga, tangan, kaki, Tuhanlah yang mengadakan, kita tinggal mendayagunakan.

Kemudian, pendayagunaan wujud al-Rahman atau kenyataan itu melahirkan al-Rahim. Yaitu output peran kekhalifahan kita yang telah berkondisi menjelaskan adanya Tuhan (bersyahadat).

Contoh, kita dikarunia akal (karena al-Rahman), kita dayagunakan untuk mengenali lingkungan dan mengembangkan makna hidup, maka Allah menurunkan kesejahteraan di lingkungan tersebut. Allah memancarkan sifat al-Rahim pada lingkungan itu.

Allah mencipta hutan, lalu kita sanggup mengelola dan menjaga kelestariannya, maka Allah menurunkan karunia (dari sifat al-Rahim) berupa kesejahteraan bagi penghuni sekitar hutan.

Sebaliknya, jika hutan hanya dieksplorasi tanpa peduli anak cucu, niscaya murka Allah yang kita terima. Allah mendatangkan banjir dan bencana-bencana lainnya.

Nah, rob yang datang menggenang kampung-kampung utara kota Semarang dan Demak merupakan wujud murka Tuhan, karena pemangku kebijakan tidak memperhatikan tekstur tanah. Dan akhirnya masyarakat bawah yang mendapat getah.

Hidup mereka sehari-hari adalah berkutat dengan banjir rob. Dulu, pada tahun 1990-an, masih ada area sawah yang bisa mereka garap. Mereka menanam padi.

Tetapi tahun 2000-an, orang-orang mengubah sawah menjadi tambak, karena rob telah menggilas sawah-sawah menjadi tambak-tambak ikan.

Dan sejak 2005-an hingga hari ini, tambak-tambak sudah tak berfungsi karena benar-benar telah berubah menjadi laut. Rumah-rumah warga yang bertahan, secara rutin harus meninggikan lantai rumah. Setelah lantai ditinggikan, konsekuensi berikutnya, meninggikan loteng atau atap.

Selaku awam, saya terenyuh. Saya berharap, sangat berharap, pemerintah hadir. Pemerintah harus mengganti rugi warga terdampak, dan memindahkan ke tempat lain juga dengan biaya negara.

Bagaimanapun tingginya rob dan amblesan tanah yang terus-menerus itu adalah fakta. Sementara biaya mengurug dan renovasi rumah, sangatlah memberatkan warga. Mereka harus menguras tabungan dari hasil kerja yang mulai tak menentu.

Saya belum punya alternatif selain bedol desa. Bahwa seluruh penghuni desa mesti rela untuk meninggalkan desanya. Dan sekali lagi, pemerintah mesti hadir menginisiasi demi kenyamanan warga terdampak.

Saya tak begitu yakin dengan proyek tol dan tanggul laut di kedua kota tersebut bisa mengatasi rob. Karena nyata-nyata amblesan tanah terus berlangsung.

Dan akan sampai kapan warga desa di pesisir utara itu harus terus-terusan menabung hanya untuk meninggikan rumah karena amblesan tanah?

Dalam khazanah tasawuf, kenyataan warga terdampak itu mirip dengan situasi Nabi Yunus yang tersesat ke dalam perut ikan. Situasi yang buruk, gelap, dan tak jelas mesti mengadu kepada siapa lagi, selain menangis di hadapan Allah.