Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Memahami Corporate Stockholm Syndrome, Penyakit Psikologis Pekerja

Redaksi
×

Memahami Corporate Stockholm Syndrome, Penyakit Psikologis Pekerja

Sebarkan artikel ini

Karena gagasan cuci otak bukanlah konsep baru, Bejerot, berbicara di “sebuah siaran berita setelah pembebasan tawanan” menggambarkan reaksi para sandera sebagai akibat dari pencucian otak oleh para penculiknya.

Corporate Stockholm Syndrome, ketidak berdayaan pekerja karena ikatan emosional.

Bagi banyak dari kita, toxic environment dalam dunia kerja bukanlah hal yang baru. Banyak pekerja, seperti teman saya di atas mengalami kondisi dan situasi yang membuat ketidakberdayaan untuk jangka waktu  yang lama.

Tekanan, pelecehan, hingga pemasungan kemerdekaan berpikir dan memperjuangkan hak membuat sikap karyawan yang sudah lama bekerja terikat dengan emosi yang menyebabkan rasionalisasi untuk diri mereka sendiri dan orang lain tentang perlakuan buruk majikan terhadap mereka yang diperlukan untuk kebaikan organisasi secara keseluruhan, dan dengan marah membela tindakan majikan ketika tindakan tersebut dipertanyakan oleh orang luar. Dengan kata lain, penolakan yang jelas.

Corporate Stockholm Syndrome menjadikan karyawan sangat setia kepada—majikan yang menganiaya mereka (didefinisikan dalam situasi ini sebagai pelecehan verbal, menuntut jam kerja yang terlalu panjang, dan umumnya mengabaikan kesejahteraan dan kebutuhan emosional karyawan).

Pada saat yang sama kondisi ketergantungan karyawan terhadap “kebaikan” bos berdampak  kepada ketidak berdayaan, enggan mencari solusi karena beresiko “bahaya” seperti sandera yang disekap pada peristiwa perampokan bank di Stockholm. Karyawan akhirnya terikat secara emosional.

Dampak Corporate Stockholm Syndrome

Karyawan ragu-ragu untuk berbicara karena takut kehilangan pekerjaan, dilewatkan untuk promosi, dan konsekuensi keuangan. Akhirnya, harga diri karyawan tersebut menderita, dan dia terlibat dalam keraguan diri dan menyalahkan diri sendiri, yang hanya dapat membuat lebih sulit untuk meninggalkan situasi tersebut.

Pembelaan yang terpaksa atas setiap kebijakan atasan meski tahu tidak rasional dan tidak berpihak kepada karyawan dan masa depan karyawan.

Persaingan tidak sehat dan saling menekan satu lain, atau bahkan membully laksana tali yang berkelindan menguatkan simpul hubungan yang ‘toxic’.

Budaya kerja akan meningkat cukup tajam, seiring dorongan atasan untuk menumbuhkan loyalitas kepada perusahaan, sementara tidak memiliki loyalitas yang sama dengan kesejahteraan emosional karyawan.

Karyawan yang tidak memiliki kompetensi, akan menghabiskan usia produktif untuk membesarkan perusahaan tanpa ada perhatian yang besar dari perusahaan terhadap karyawan yang segera akan dibebastugaskan karena faktor usia.

Setelah habis masa kerja atau perusahaan memutuskan untuk merumahkan para karyawan lama yang tidak produktif. Tindakan itu tetap membuat karyawan memandang perusahaan dengan kepatuhan dan rasa terima kasih, sebagai hasil dari mindset bahwa perusahaan telah membuatnya bisa melangsungkan hidup.