Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Mengenal Depresi Pasca Menyapih yang Sering Terabaikan

Redaksi
×

Mengenal Depresi Pasca Menyapih yang Sering Terabaikan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Menyusui memiliki banyak manfaat, termasuk kesehatan mental bagi ibu. Menyusui menghasilkan hormon oksitosin dan prolaktin yang secara alami mengurangi stres dan meningkatkan perasaan positif pada ibu. Selain itu juga dapat meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri.

Namun demikian, mengalami depresi atau perubahan suasana hati setelah menyusui bisa terjadi. Emosi ini terjadi baik menyusui secara sukarela atau tidak.

Masalahnya, begitu sedikit perempuan yang membahas pengalamannya ini. Sehingga, ini bisa membuat mereka semakin kebingungan dan terasing.

Mengutip Parents, pengalaman tersebut diistilahkan dengan depresi pasca menyapih (post-weaning depression). Ini menggambarkan depresi yang dapat terjadi setelah seorang perempuan berhenti menyusui akibat dari fluktuasi hormonal dan/atau tekanan psikologis dari penyapihan.

Profesor psikiatri di New York-Presbyterian Hospital, Gail Saltz mengungkapkan, gejalanya bisa termasuk peningkatan iritabilitas, air mata, kehilangan kesenangan dalam aktivitas yang biasanya menyenangkan, serta kelelahan dan kesulitan berkonsentrasi.

Depresi pasca menyapih tidak selalu terjadi setelah ibu berhenti menyusui. Kemungkinan, beberapa ibu mengalaminya tanpa pernah menghubungkan gejalanya dengan proses penyapihan.

“Perempuan sering tidak mengungkapkan bahwa mereka memiliki perasaan ini atau tidak menyadari apa yang mereka alami ini. Pada gilirannya, depresi ini kurang familiar bagi komunitas psikiatris daripada kondisi pascamelahirkan lainnya,” kata Gail.

Mengapa Belum Banyak Orang Mendengar Depresi Pasca Menyapih?

Depresi ini tidak mendapatkan perhatian yang adil. Selain itu, hanya sedikit penilitian yang membahas kondisi tersebut. Ob-gyn di Philadelphia, David Goldstein mengungkapkan, kemungkinan ada hubungannya dengan ibu tidak selalu diawasi secara ketat untuk kasus seperti ini.

“Saya memiliki pasien yang mengalami depresi pasca menyapih yang parah. Sebagian besar, pasiennya tidak tahu mengapa mereka mengalami gejala depresi,” ungkap David.

Kemungkinan lainnya juga karena meremehkan pergeseran hormon terkait penyapihan.

“Oksitosin yang naik selema menyusui berkurang dengan penyapihan. Ini berarti seorang perempuan mungkin kehilangan perasaan baik oksitosin dan mengalami kehilangan serta kesedihan yang lebih intens,” jelas Gail.

Hormon lainnya juga berperan, seperti prolaktin yang biasanya meningkat selama menyusui atau dikaitkan dengan perasaan tenang.

“Penurunan mendadak hormon ini saat penyapihan tiba-tiba terjadi dapat menyebabkan perasaan buruk juga,” tambah Gail.

Sementara itu, estrogen umumnya tetap lebih rendah selama menyusui dan kembali ke tingkat sebelum hamil setelah menyapih.

“Pergeseran kadar estrogen menyebabkan suasana hati yang tertekan atau mudah tersinggung bagi beberapa perempuan,” lanjutnya.

Beberapa kesedihan dan perasaan kehilangan mungkin normal selama penyapihan. Tetapi, para ahli menyarankan untuk mencari bantuan ketika kondisinya memburuk.

“Jika gejalanya menjadi cukup parah yang mengganggu kemampuan ibu bekerja, jika memiliki pikiran bunuh diri, kesulitan merawat dirinya dan bayinya, sulit tidur atau kehilangan nafsu makan, makan ini tergolong kondisi lebih parah dan memerlukan evaluasi dan pengobatan,” papar Gail.

Para ibu yang mengalami gejala tersebut dapat menghubungi ahli kesehatan mental, dokter umum, atau ob-gyn yang akan membantu pengobatan. Entah itu terapi, obat-obatan, atau hormon tambahan.

Salah satu penderita depresi pasca-menyapih menyarakan agar tidak menderita dalam diam.

“Pergi ke dokter. Bicara dengan pasangan, keluarga dan teman kalian. Carilah konseling. Sementara itu, kalian membutuhkan dukungan,” tegas Lanter. [rif]