Politik & Hukum

Menurut Game Theory: Apa Dampak Golput?

Diautoriq Husain
×

Menurut Game Theory: Apa Dampak Golput?

Sebarkan artikel ini

Karenanya, terlibat aktif dalam pemilihan adalah kunci. Itu untuk memastikan bahwa suara rakyat benar-benar diwakili dengan baik dan mendukung perwakilan yang sesuai dengan keinginan mereka.

BARISAN.CO – “Dengan melakukan pemboikotan atas jalannya pemilu, berarti kita kehilangan keuletan berjuang dan hanya mengingini sesuatu yang di buat orang lain dan di sajikan orang lain di luar diri kita,” tulis Abdurrahman Wahid (2004) dalam esai yang berjudul “Apa yang Kau Cari Golput?”. Mantan Presiden Indonesia yang akrab dipanggil Gus Dur itu mengingatkan, penolakan atau pemboikotan terhadap pemilu dianggap sebagai tindakan yang merugikan.

Sebab, itu dianggap sebagai kehilangan semangat berjuang dan hanya mengharapkan sesuatu yang dibuat oleh orang lain, tanpa upaya partisipasi aktif dari masyarakat. “Dari sekarang kita tahu hasil pemilu tidak akan memuaskan siapa pun,” jelas Gus Dur. 

“Namun, menyerahkan jalannya roda pemerintahan kepada para penguasa tanpa melalui pemilu rasanya amat berjauhan dari sikap hidup sebagai bangsa,” sambungnya. Dia melalui tulisannya itu menggambarkan dilema atau perasaan ketidakpuasan terhadap hasil pemilu. 

Meskipun diakui bahwa hasil pemilu mungkin tidak memuaskan semua pihak, ia menegaskan bahwa menyerahkan pemerintahan tanpa melalui pemilu sama sekali tidak sesuai dengan semangat hidup sebagai bangsa yang berjuang. Lantas, bagaimana dengan sikap abstain atau golput? Apakah hal itu akan memberikan perubahan lebih baik?

Game Theory 

John O. Ledyard (1981) dalam “The Paradox of Voting and Candidate Competition: A General Equilibrium Analysis“ menganalisa keputusan seseorang memilih dalam pemilihan umum (pemilu) melalui game theory. Di mana pemegang hak suara memilih satu di antara tiga pilihan: memilih kandidat, memilih lawannya, atau abstain.

Dalam analisa tersebut, Ekonom California Institute of Technology itu mengenalkan istilah “Paradox of Not Voting”. Yakni, seseorang diasumsikan bakal memilih atau abstain tergantung seberapa besar peluang suaranya bisa mengubah hasil pemilu. Selain itu juga pemilih diasumsikan tidak menghadapi kendala yang menghalanginya untuk memberikan suara.

Kembali ke game theory, polarisasi politik pada kontestasi pemilu bakal membelah masyarakat menjadi dua kubu karena berbeda pandangan. Maka kemudian, ekuilibrium (titik keseimbangan) partisipasi politik masyarakat akan bersifat positif. 

Maksudnya, ketika kekuatan kedua kubu tersebut berimbang maka semakin besar probabilitas suara pemilih mengubah hasil pemilu. Dengan demikian, hal ini meningkatkan insentif pemilih untuk memakai hak suaranya.

Pemilu Amerika Serikat (AS)

Belajar dari Pemilu AS 2016 lalu, di mana kemenangan Donald Trump menjadi kejutan. Mengutip The Forbes, Omri Ben-Shahar, pendiri Institut Hukum dan Ekonomi Coase-Sandor membeberkan bahwa kemenangan Trump di sumbang salah satunya karena tingginya pemilih yang golput. Memang, tingkat partisipasi pemilu Negeri Paman Sam saat itu menjadi yang terendah dalam dua dekade terakhir, yakni 42,4 persen atau 98 juta pemilih golput, di kutip dari Unites States Election Project.

Alasan di balik itu lantaran pemilih di AS merasa suara yang mereka berikan tidak akan berdampak pada hasil pemilu. Seperti dalam “Paradox of Not Voting”, seseorang di asumsikan bakal memilih atau abstain tergantung seberapa besar peluang suaranya bisa mengubah hasil pemilu.