Pendidikan

Muhammadiyah Minta Frasa ‘Madrasah’ Tak Hilang dari RUU Sisdiknas, Pemerintah Bakal Revisi

Avatar
×

Muhammadiyah Minta Frasa ‘Madrasah’ Tak Hilang dari RUU Sisdiknas, Pemerintah Bakal Revisi

Sebarkan artikel ini
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo

BARISAN.CO – Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tengah mengajukan draf Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Tetapi banyak pihak menolak, salah satunya karena draf RUU Sisdiknas 2022 telah menghilangkan frasa ‘madrasah’.

Padahal, madrasah sendiri sudah berdiri bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan, KH Ahmad Dahlan mendirikan madrasah Qismul Aqro di Yogjakarta pada 1918, sebagai cikal bakal madrasah muallimin-muallimat Muhammadiyah.

“Sistem pendidikan madrasah merupakan solusi ketika pemerintah Belanda menolak dimasukkannya pendidikan agama di sekolah Belanda, dan tidak adanya kajian ilmu modern di pesantren,” kata Mu’ti, Selasa (29/3/2022).

Mu’ti menuturkan, eksistensi madrasah semakin menguat setelah diundangkan dalam UU No 30 Tahun 2003 bahwa madrasah disebutkan bersamaan dengan sekolah sebagai pendidikan formal. Pendidikan taman kanak-kanak (TK) sama dengan Raudatul Atfal (RA). Sekolah Dasar (SD) sama dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sekolah Menengah Pertama (SMP) sama dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Sekolah Menengah Atas (SMA) sama dengan Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sama dengan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).

“Ujian Nasional Madrasah sama dengan sekolah,” tegas Mu’ti.

Munculnya draf RUU Sisdiknas yang menghilangkan kata Madrasah menurutnya, tidak sejalan dengan tujuan dibentuknya negara Indonesia yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.

Dikotomi Sistem Pendidikan Nasional

Selain itu, dengan penghapusan kata Madrasah dalam RUU Sisdiknas 2022 dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah. Pertama, masalah dikotomi sistem pendidikan nasional.

“Hal jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghendaki integrasi pendidikan dalam satu sistem pendidikan nasional,” kata Mu’ti.

Kesenjangan Mutu Pendidikan

Masalah Kedua, munculnya kesenjangan mutu pendidikan. Dengan kata lain, dengan tidak dimasukkannya madrasah dapat menjadi alasan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk tidak mengalokasikan anggaran pembinaan madrasah.

Masalah ketiga, dikotomi pendidikan nasional jika tidak dikelola secara seksama, dapat berpotensi menimbulkan masalah disintegrasi bangsa.

“Secara kualitas mutu pendidikan madrasah masih relatif tertinggal dibandingkan sekolah. Masalah ini tidak boleh diabaikan. Idealnya, administrasi dan pembinaan pendidikan berada di bawah satu kementerian yaitu Kemendikbudristek. Karena itu, sekali lagi, madrasah perlu dimasukkan dalam Undang-Undang Sisdiknas,” ujarnya.

“Memang belum semua pihak setuju. Tetapi, wacana ini perlu menjadi kajian bersama,” tambah Mu’ti.

Sekolah dan Madrasah Tetap Ada di Revisi RUU Sisdiknas

Sementara itu, pemerintah menegaskan, tidak pernah ada rencana penghapusan bentuk-bentuk satuan pendidikan melalui revisi RUU Sisdiknas.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo menjelaskan, sedari awal tidak ada keinginan ataupun rencana untuk menghapus sekolah atau madrasah atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional.

“Sekolah maupun madrasah secara substansi tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh dari revisi RUU Sisdiknas. Namun, penamaan secara spesifik seperti SD dan MI, SMP dan MTS, atau SMA, SMK, dan MA akan dijelaskan dalam bagian penjelasan. Hal ini dilakukan agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat UU sehingga lebih fleksibel dan dinamis,” jelas Anindito, seperti dikutip dalam rilis Kemendikbudristek di Jakarta, Selasa (29/3/2022).