Hitam dan dukacita sejak lampau tak terpisahkan. Kebiasaan berbusana hitam dalam perkabungan, menurut Francoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages, berawal dari Spanyol pada abad pertengahan yang kemudian ditiru oleh para bangsawan Prancis dan Inggris.
Salah seorang di antaranya Phillip the Good (Duke of Burgundy) yang bersikeras mengenakan hitam sejak terbunuhnya sang ayah, John the Fearless, pada 1419 hingga akhir masa pemerintahannya pada 1467. Tak hanya itu, kereta kuda, rombongan pengawal, dan kediamannya juga berornamen hitam.
Interpretasi hitam sebagai mode busana dimulai sejak abad pertengahan. “Citarasa Spanyol, dengan akar gaya Burgundi, menyebarkan pengaruhnya ke Eropa, serta diikuti oleh Belanda yang mengadaptasi Spanyol; keduanya sangat terbuka akan keindahan suram warna hitam; walau mereka masih terpaku dengan hitam diselingi sedikit putih di bagian leher,” tulis Holander.
Imam Suyuthi didalam kitabnya “al Awa’il” menyebutkan bahwa orang-orang Mesir memilih pakaian berwarna hitam untuk menunjukkan kesedihan saat berkabung terhadap orang-orang Koptik yang mati pada masa “Diokletianus” dimana sebanyak 180.000 orang-orang Kristen disembelih dalam satu hari kemudian kaum wanita mereka mengenakan pakaian yang berwarna hitam.
Dalam pandangan Islam
Melayat orang yang meninggal adalah perbuatan yang disunahkan sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Tidaklah seorang mukmin melayat saudaranya yang tertimpa musibah kecuali Allah akan pakaikan dirinya dengan perhiasan kemuliaan pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah)
Dan pada dasarnya menggunakan pakaian hitam adalah boleh, karena Rasulullah SAWpun pernah menggunakan yang berwarna hitam. Hanya saja, ketika suatu jenis pakaian telah menjadi ciri khas dari orang kafir seperti pakaian serba hitam-hitam ketika melayat orang mati, maka seorang muslim yang mengikuti hal tersebut termasuk dalam tasyabbuh (penyerupaan) dengan gaya hidup dan pakaian orang-orang kafir.
Rasulullah Saw bersabda :
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka “ (HR. Abu Dawud)
Jadi berbusana hitam pada saat melayat/ bertakziah bukanlah sesuatu yang diajarkan oleh Islam tetapi telah menjadi kebiasaan orang-orang kafir. Dalam hal ini Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa fenomena berkabung yang ditunjukkan dengan pakaian adalah tidak diperbolehkan mengenakan pakaian yang bertentangan dengan perasaan kesedihan. Dan ini bebeda-beda dalam bentuk, warna dan jenis sesuai dengan perbedaan kebiasaan.
Menurut Imam Nawawi tentang pendapat mengenai pakaian hitam dalam kontek ihdad berkata: berbusana hitam ketika ta’ziyah apabila ditujukan sebagai tanda belasungkawa bagi petakziyah tidak diperbolehkan apabila terbersit niat penentangan atas takdir. Hal itu merupakan sesuatu yang buruk dan dibenci, seperti yang termaktub dalam sebuah hadits.