BARISAN.CO – Soal kebijakan pendidikan, kiranya kurang begitu bijak ketika kita hanya menyalahkan pemerintah apabila kegagalan ataupun keburukan di dalam sebuah negara (Indonesia) terjadi. Era sekarang adalah era globalisasi yang syarat dengan matrialis-kapitalistik yang begitu hampir diadopsi oleh sebagian besar bangsa di dunia serta arusnya yang berhasil mendesakkan pada pemikiran manusia.
Arus globalisasi yang bersandar pada ekonomi kapitalis yang berujung pada penguasaan pasar sebagai representasi suatu kemakmuran haruslah juga dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi kapitalis, sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip ekonomi kapitalis ”dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya” yang dicetuskan oleh Adam Smith sebagai bapak ekonomi kapitalis selalu didasarkan pada praktik ekonomi masa kini.
Sebagai dampak globalisasi Negara Indonesia kini telah terkena dominasi imbasnya. Kuasa otoritas kebijakan negara segaja digantikan kepada raksasa kuasa pemegang kebijakan baru meliputi para badan regulator ekonomi multi nasional World Bank, IMF, WTO dll. Inilah yang disebut sebagai kolonialisme baru, rezim neo libereralisme yang secara prinsip mendesakkan atas privatisasi dan persaingan bebas secara totaliter sebagai logika pasar bebas.
Artinya tetap berpegang pada pemahaman siapa yang mempunyai kapital/modal maka dialah yang berkuasa yang ujungnya yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Hal demikian sungguh tidak adil dan dehumanisasi, dan ini telah berimbas pada seluruh lini kehidupan tidak hanya ekonomi tetapi juga pada politik, hukum, sosial, dan juga pendidikan yang jika diteruskan akan membudaya.
Beberapa waktu yang lalu MK (Mahkamah Konstitusi) telah memutuskan tidak berlakunya lagi UU BHP karena dampak yang ditimbulkan pada komersialisasi pendidikan. Namun itu bukan menjadi tolak ukur pada pelaksanaan pendidikan di Indonesia untuk berjalan sesuai dengan amanah UUD 45.
Sering kali kita temui masih maraknya praktik-praktik privatisasi dan komersialisasi di dalam institusi pendidikan di Indonesia, terutama ketika penerimaan siswa/mahasiswa baru betapa tidak para orang tua/wali murid harus menyepakati blanko pembayaran atau uang sumbangan (bahasa halus) dengan harga minimal diatas rata-rata mayoritas perekonomian masyarakat Indonesia yang itu adalah sama saja dengan pemaksaan, ataupun tawar menawar harga bangku antara orang tua dengan pihak sekolah bagi calon siswa yang tidak lulus penyeleksian.