Kemenkeu akan melakukan penyesuaian dengan rokok elektronik sebesar 15% maupun pengolahan tembakau lainnya sebesar 6% setiap tahunnya untuk lima tahun ke depan.
BARISAN.CO – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan penelitian mengenai “Faktor Pendorong Kekambuhan Merokok (Smoking Relapse) pada Anak di Indonesia: Bukti dari Global Youth Tobacco Survey (2006-2019)” pada Kamis (2/1/2023). Diungkapkan, angka kekambuhan merokoh pada anak masih memiliki proporsi 50% ke atas.
Studi ini mengungkapkan, adanya ancaman untuk menurunkan prevalansi perokok anak. Diketahui, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun mengalami peningkatan dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah Indonesia telah menargetkan, penurunan prevalensi perokok pada anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% pada tahun 2024.
Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, M.Sc., Perencana Ahli Madya/Koordinator Kesehatan Masyarakat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menanggapi temuan tersebut dengan menyampaikan, Bappenas sangat mendukung berbagai upaya yang diarahkan untuk menurunkan prevalensi perokok anak.
“Tantangan untuk menurunkan prevalensi perokok anak tidak mudah. Selain akses dan harga, anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,” katanya.
Selanjutnya, banyak kajian yang sudah mendukung bahwa faktor harga secara strategis menurunkan prevalensi perokok anak.
“Faktor lain yang perlu diperdalam selanjutnya yaitu mengatasi faktor kecanduan, misalnya akses upaya berhenti merokok. Selain itu, pengendalian pada tingkat keluarga juga perlu menjadi perhatian bersama,” tambah Renova.
Sementara itu, Sarno, S.T.T., M.Sc. M. Buss, Ak., C.A., Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia menambahkan, temuan PKJS-UI itu akan menjadi rekomendasi dalam perumusan kenaikan cukai hasil tembakau.
“Kementerian Keuangan tetap konsisten dalam menyikapi isu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT), penyesuaian tarif CHT, Harga Jual Eceran (HJE), dan simplifikasi layer CHT sehingga harga rokok semakin tidak terjangkau. Estimasi dampak dari usulan kebijakan CHT tahun 2023 dan 2024, yaitu diperkirakan prevalensi merokok anak turun menjadi 8,92% di 2023 dan 8,79% di 2024,” jelasnya.
Selain indeks kemahalan rokok diperkirakan naik menjadi 12,46% di 2023 dan 12,35% di 2024, Sarno melanjutkan, Kemenkeu juga akan melakukan penyesuaian dengan rokok elektronik sebesar 15% maupun pengolahan tembakau lainnya sebesar 6% setiap tahunnya untuk lima tahun ke depan.
“Ditambah, harga jual eceran minimum juga disesuaikan dengan pengembangan harga di pasaran. Tentang pelarangan penjualan rokok ketengan, termasuk pengaturan yang diusulkan oleh kami untuk masuk dalam rancangan Peraturan Presiden mengenai peta jalan pengelolaan produksi hasil tembakau,” paparnya.
Ketua Tim Bidang Barang Penting, Direktorat Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Fitria Wiraswasti,. S.H., MH., mengatakan, Kemendag sangat mendukung adanya kajian ini.
“Terkait pelarangan penjualan rokok secara ketengan, kami akan mengkaji kembali di peraturan Kemendag. Terutama mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 Pasal 60 yang menyebutkan bahwa pengawasan terhadap produk tembakau yang beredar, promosi, dan pencantuman peringatan kesehatan dalam iklan dan kemasan produk tembakau dilaksanakan oleh Kepala Badan, termasuk berkoordinasi dengan Kemendag,” lanjut Fitria.
Sedangkan, Koordinator Profil Pelajar Pancasila dan Inklusivitas pada Pusat Penguatan Karakter, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Dra. Dian Srinursih mengapresiasi diskusi ini karena akan berdampak sangat luar biasa pada generasi mendatang.