Andri mengungkapkan, yang harus menjadi perhatikan sekarang, di Indonesia jumlah kematian akibat bekerja terlalu banyak itu sangat memprihatinkan.
BARISAN.CO – Sejak krisis minyak di tahun 1973, istilah Karoshi muncul di Jepang. Istilah itu artinya ialah kematian karena terlalu banyak bekerja.
Pada saat itu, restrukturisasi tenaga kerja negara itu telah membentuk lingkungan kerja di mana bekerja lebih dari 70 jam per minggu dipandang sebagai hal normal dan bahkan terhormat. Namun, pada era 90-an, kerusakan akibat fenomena ini terlihat, dengan cerita karyawan yang meninggal di kantor setelah hari kerja yang panjang atau memutuskan bunuh diri karena tidak tahan lagi dengan tekanan kerja.
Sejak saat itu, sosiolog dan peneliti Jepang telah mempelajari fenomena budaya ini yang hingga saat ini diyakini unik di Jepang. Masalah itu diakui secara hukum oleh Kementerian Kesehatan Jepang, keberadaan karoshi pada tahun 1987 sebagai masalah sosial yang parah.
Lebih dari tiga puluh tahun kemudian, kita menghadapi kenyataan pahit hari ini, fenomena karoshi bersifat global.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Andri Perdana menyampaikan, di Indonesia orang yang bekerja di atas 49 jam lebih per minggu sekitar 26,3% angkatan kerja. Hal itu, dia sampaikan pada acara Mimbar Virtual: Risiko Jam Kerja Berlebihan.
“Indonesia berada di urutan ketiga dengan jumlah pekerja terbanyak yang bekerja di atas 49 jam lebih per minggu di dunia setelah Korea Selatan dan Hongkong. Padahal, jumlah orang yang meninggal kematian akibat stroke dan penyakit jantung iskemik karena bekerja terlalu lama di Asia Tenggara,” kata Andri pada Rabu (28/9/2022).
Merujuk data Statista tahun 2016, Andri menyebut, jumlah orang yang meninggal akibat stroke dan penyakit jantung iskemik karena bekerja terlalu lama berada di Asia Tenggara berjumlah 318.819 orang.
“Jadi, di Asia Tenggara paling tinggi dan Indonesia paling tinggi. Ini perlu menjadi perhatian karena Indonesia jadi juara dari segi bekerja paling lama dan menyebabkan kematian. Tragisnya di sana,” lanjutnya.
Di samping itu, Andri membandingkan dengan data BPS yang menunjukkan, penduduk bekerja dengan jam kerja berlebih mencapai 24,78% pada tahun lalu.
“Angkanya kurang lebih hampir sama dengan data Nikkei Asian. Itu sangat memprihatikan, walaupun mungkin dianggap seperti normal,” tambahnya.
Kaitan Jam Kerja Berlebih dengan Produktivitas
Andri menyebut, kalau menurut standar dunia, di abad sekarang terutama di negara-negara yang ekonominya sudah membaik, semakin rendah jam kerja, semakin tinggi pula korelasinya terhadap kesejahteraan ekonomi.
“Kalau kita lihat datanya, semakin tinggi jam kerja yang dilakukan oleh angkatan kerja justru akan menurunkan produktivitas. Jumlah jam orang bekerja yang melewati titik tertentu akan memberikan korelasi terhadap menjadi GDP lebih rendah,” sambungnya.
Andri menuturkan, mungkin awalnya, saat bekerja 60 jam per minggu, pekerja merasa produktivitasnya tinggi. Tapi, lama-kelamaan justru semakin menurun dibandingkan orang yang bekerja 35 jam per minggu.
“Ketika kita bekerja terlalu keras, produktivitasnya justru lebih rendah dari orang yang lebih santai dari kita. Sebenarnya itu yang bisa kita perhatikan, jam kerja paling tinggi dalam jangka panjang itu tidak menghasilkan produktivitas lebih tinggi justru lebih rendah,” jelasnya.
Di sisi lain, laporan WHO dan ILO tahun lalu juga menunjukkan, orang yang bekerja di atas 55 jam per minggu berisiko sangat fatal terhadap kesehatan. Laporan itu mengungkapkan, orang yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu, risiko terhadap penyakit jantung meningkat sebesar 17% sedangkan stroke meningkat 35%. Efeknya terjadi pada 1 dari 10 populasi dunia.