“Itu sangat besar, apakah risiko itu cukup dengan kompensasi bekerja yang lebih tinggi? Apalagi kalau kita lihat di Indonesia itu menyangkut seperempat angkatan kerja di Indonesia,” paparnya.
Dia menyayangkan, hal ini tidak menjadi bahan perhatian pekerja karena tuntutan ekonomi dan lapangan pekerjaan yang umumnya masyarakat tidak bisa memperhitungkannya. Sehingga, tidak bisa mengandalkan kesadaran angkatan kerja.
“Harusnya diatur oleh otoritas karena yang bisa mencegah angka ini turun dan juga mencegah hal ini semakin berdampak pada warga Indonesia,” terangnya.
Andri kemudian mengatakan, menurut penelitian Nobel tahun 2021, berdasarkan penelitian selama 30 tahun menyatakan bahwa semakin meningkatkan minimum wage, tidak akan meningkatkan tingkat pengangguran.
“Jadi, terbukti anggapan semakin menyejehterakan tenaga kerja dengan meningkatkan gaji mereka per jam, pekerja tidak perlu bekerja 55-60 jam per minggu hanya untuk mendapatkan UMR. Tapi, mereka hanya perlu bekerja tidak lebih dari 40 jam bahkan 35 jam sesuai riset-riset terbaru karena ini lebih produktif,” ujarnya.
Andri mengungkapkan, yang harus menjadi perhatikan sekarang, di Indonesia jumlah kematian akibat bekerja terlalu banyak itu sangat memprihatinkan.
“Jangan sampai di masa tua, kita ingat hidup itu hanya saat muda dan sebelum bekerja. Di saat bekerja itu hanya kerja keras dan tidak dianggap hidup. Kita harus memikirkan kembali, apakah saat ini tenaga kerja kita sudah dengan norma menyehatkan atau jangan-jangan ini norma yang tidak memanusiakan manusia,” pungkas Andri.