Bahkan meski tidak secara langsung, jejak kepeloporan beliau di ekonomi Syariah ini dikenang secara khusus bagi Tamzis bahwa secara tidak langsung adalah pendiri TAMZIS, kok bisa?
Ceritanya begini, bahwa dalam upaya pendirian tersebut beliau dan para founder pendirian Bank Muamalat ini menyelenggarakan pelbagai seminar dan untuk di Jogja ada beberapa kali seminar dibuat dengan tajuk “Dialog Bisnis ala muslim 1.”
Dimana saya mengikutinya, akan tetapi seminar berikutnya “Dialog Bisnis ala Muslim 2” saya tidak berkesempatan ikut karena sedang sibuk membangun toko di Wonosobo.
Nah, kendati tidak mengikuti tapi kemudian ada sahabat yang mengirimkan buku proceeding seminarnya.
Buku tersebut isinya sudah sangat teknis membahas cukup lengkap dan detail operasional Lembaga Keuangan Syariah (dimana waktu itu karena Islamophobia masih sangat kuat maka penyebutannya masih sangat panjang yakni BTBDSBH (Bank Tanpa Bunga Dengan Sistem Bagi Hasil)).
Buku itulah yang membuka mata saya untuk membuat BMT Tamzis.
Perkenalan dengan tokoh nasional ini terjadi sewaktu beliau mewakili ketua ICMI sekaligus wakil presiden BJ Habibie membuka acara Pelatihan Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang diselenggarakan oleh TAMZIS di bulan April 1995.
Beliau membuka dan menjadi pembicara kunci yang menerangkan mengenai Lembaga Keuangan Syariah dan operasionalnya. Kemudian persamaan dan perbedaannya dengan lembaga konvensional dihadapan para tokoh masyarakat Wonosobo yang datang membeludak melampaui kapasitas gedung.
Dari pelatihan itu lalu berdiri beberapa BMT di Wonosobo salah satunya BMT Marhamah yang kini tumbuh menjadi BMT yang luar biasa.
Sebenarnya, dinamika pemikiran saya dengan beliau tidak selalu mulus layaknya senior dengan yunior. Tentu dengan selalu memandang dengan hormat karena kepeloporan di LSM Indonesia dan juga senioritas beliau di pergerakan ekonomi syariah.
Rasa hormat itu makin kuat justru karena makin mengenal sikap hidup yang sangat teguh menjadi penggerak dan pemberdaya masyarakat yang benar-benar tercermin.
Bahkan hingga dalam kehidupan sehari-hari seperti desain rumah yang terintegrasi dengan lembaga pendidikan yang beliau dirikan dan pintu khusus dari rumah yang dapat langsung menuju Masjid Nurul Iman dimana beliau duduk sebagai Ketua Dewan Pengurusnya.
Dinamika pemikiran kami seringkali cukup keras, bahkan di salah mengertikan oleh para sahabat saya di BMT sebagai berhadap hadapan.
Tapi dalam situasi demikian beliau mengajarkan bahwa silaturahmi tetap terjaga lewat tindakan yang tetap memanggil dan melibatkan saya dalam banyak kesempatan.