Scroll untuk baca artikel
Terkini

Perlindungan Sosial, Solusi Mengatasi Pekerja Anak

Redaksi
×

Perlindungan Sosial, Solusi Mengatasi Pekerja Anak

Sebarkan artikel ini

Perlindungan sosial ialah hak asasi manusia dan alat kebijakan yang ampuh sebagai upaya mencegah keluarga menjadikan anak sebagai pekerja di masa krisis. Sayangnya, 1,5 miliar anak di dunia tidak memiliki perlindungan sosial.

BARISAN.CO – Laporan bersama UNICEF dan ILO, jumlah pekerja anak meningkat 8,4 juta dalam empat tahun terakhir menjadi 160 juta anak. Laporan berjudul “Child Labour: Global estimates 2020, trends and the road forward” memperingatkan, 9 juta anak di dunia berisiko terdorong menjadi pekerja anak pada akhir tahun 2022 akibat pandemi Covid-19.

Simulasi yang dilakukan menujukkan, jumlah tersebut bisa meningkat menjadi 46 juta jika anak-anak tidak memiliki akses perlindungan sosial yang cukup. Oleh karenanya, tema yang diangkat tahun ini ialah Perlindungan Sosial Universal untuk Mengakhiri Pekerja Anak.

Perlindungan sosial ialah hak asasi manusia dan alat kebijakan yang ampuh sebagai upaya mencegah keluarga menjadikan anak sebagai pekerja di masa krisis. Namun, di tahun 2020, justru sebelum krisis terjadi, hanya 46,9% dari populasi global yang secara efektif memiliki setidaknya satu manfaat perlindungan sosial.

Sayangnya, cakupan bagi anak-anak jauh lebih rendah. Hampir tiga perempat atau 1,5 miliar anak-anak tidak memiliki perlindungan sosial.

Pada abad ke-18, pabrik kapas terutama di Inggris Raya dan Amerika Serikat mempekerjakan pemulung untuk membersihkan dan menutup area di bawah mesin yang berputar. Limbah kapas itu terlaly berharga jika ditinggalkan begitu saja. Sehingga solusi sederhana saat itu adalah memperjakan anak di bawah umur untuk melakukannnya.

Mereka bekerja mulai usia empat tahun hingga 16 jam sehari, jika ketahuan tertidur, maka akan dipukuli.

Yang jauh lebih mengkhawatirkan, banyak anak menderita luka serius saat berada di bawah mesin, dengan jari, tangan, dan terkadang kepala tertimpa bagian alat berat yang bergerak. Kemudian, di tahun 1819 mulai diperkenalkan Cotton Mills and Factories Act yang berisi usia yang anak yang boleh dipekerjakan antara 9-16 tahun dengan maksimal jam kerja sebanyak 16 jam sehari.

Anak-anak dipilih karena dianggap lebih mudah diatur, upah rendah, dan lebih kecil kemungkinan bagi mereka untuk mogok kerja.

Hingga abad ke-21 saat ini, pekerjaan memulung masih banyak dilakukan oleh anak-anak.

Mengutip Reuters, Paus Fransiskus pada Januari lalu, mendesak pemerintah memerangi pekerja anak dengan mengatakan, anak-anak yang seharusnya bermain bukan bekerja.

Paus juga menyesalkan di banyak negara, orang dieksploitasi dalam ekonomi bawah tanah yang tidak resmi, bekerja tanpa tunjangan, atau perlindungan hukum.

“Anak-anak seharusnya bermain malah dipaksa bekerja seperti orang dewasa. Mari kita pikirkan anak-anak itu, hal-hal kecil yang malang, menjelajahi tempat pembuangan sampah untuk mencari sesuatu yang berguna, lalu diperdagangkan atau dijual,” kata Paus.

Paus menyebut, kurangnya pekerjaan adalah ketidakadilan sosial dan sementara amal dan pemberian kepada pengangguran itu penting agar dapat mengisi perutnya dan memberikan martabat.

Di hadapan hadirin, Paus Fransiskus mengheningkan cipta untuk mengenang para pengangguran, korban kecelakaan industri, serta mereka yang mengakhiri hidupnya setelah kehilangan pekerjaan karena pandemi Covid-19.

Penyebab pekerja anak dan eksploitasi adalah kemiskinan, norma-norma sosial yang membenarkan mereka, kurangnya kesempatan kerja layak bagi orang dewasa dan remaja, migrasi, serta keadaan darurat. Faktor-faktor itu tidak hanya menjadi penyebab, namun juga konsekuensi dari ketidakadilan sosial yang diperkual oleh diskriminasi.

Dampak buruknya, anak-anak mengalami cedera fisik serta mental yang ekstrem, dan bahkan kematian. Hal ini berakibat pada perbudakan dan eksploitasi seksual atau ekonomi. Hilangnya hak-hak dasar anak-anak juga mengancam masa depan mereka. [rif]