BARISAN.CO Transisi energi tengah menjadi perhatian serius negara-negara di dunia lantaran energi fosil dinilai tidak ramah lingkungan. Termasuk Indonesia yang tak luput turut mengkaji potensi pembangunan sistem tenaga listrik dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Pada 2019 lalu, pemerintah Indonesia lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggandeng Kedutaan Denmark untuk membuat kajian analisis opsi energi yang paling terjangkau dan ramah lingkungan. Kajian ini dilakukan di empat daerah di Indonesia, diantaranya Sulawesi Utara, Gorontalo (SulutGo), Riau, dan Kalimantan Selatan.
Dalam kerja sama kajian itu terlibat juga Organisasi Danish Energy Agency yang merupakan bagian dari pemerintah Denmark. Kemudian, diperolehlah hasil bahwa ternyata energi terbarukan adalah energi yang lebih ekonomis dibandingkan dengan energi yang bertumpu pada bahan bakar fosil.
Sebab, menurut Alberto Dalla Riva, analis Danish Energy Agency, pembiayaan energi yang berasal dari batubara lama-kelamaan akan semakin dipersulit. Pasalnya, sudah ada 100 lembaga keuangan yang tidak mau lagi membiayai proyek baru batubara.
Hal itu tak lepas dari imbas Perjanjian Paris (Paris Agreement) 2015 dimana kedepan energi fosil akan ditinggalkan. Di sisi lain, “penambahan PLTU sebelum tahun 2030 diperkirakan dapat menyebabkan 24.000 kematian dini di seluruh dunia” tutur Alberto saat peluncuran Energy Outlook untuk empat daerah di Indonesia pada akhir 2019 lalu, dikutip dari Mongabay (2/12/2019).
Laporan Kajian
Laporan ini menyajikan tiga skenario “what-if” dalam jangka pendek hingga 2030, dan dalam jangka panjang hingga 2050 untuk melihat dampak potensi dan dinamika evolusi sistem energi dalam beberapa kondisi tertentu.
Skenario pertama dari ketiga skenario yang diperkirakan itu adalah BaU (business as usual) yang mengacu pada rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) tahun 2019. Skenario kedua, kondisi yang terjadi saat ini (current condition) menjadi asumsi acuan. Terakhir, skenario ketiga, yakni transisi hijau (green transition) yang menunjukkan berbagai dampak dari diterapkannnya biaya yang lebih rendah untuk energi terbarukan.
Uniknya, empat daerah yang dijadikan sampel kajian menunjukkan, bahwa biaya yang diperlukan dalam menerapkan energi terbarukan memiliki rata-rata 8% lebih rendah weighted average cost of capital (WACC) dibandingkan dengan biaya yang diperlukan dalam menerapkan energi batubara. Selain itu, berkat dukungan Internasional dalam hal perubahan iklim dan polusi menjadikan proyek energi terbarukan menjadi semakin mulus.
Potensi Energi Terbarukan di Indonesia
Berdasarkan Paris Agreement 2015, 196 negara telah menyepakati Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi tentang target pengurangan emisi karbon secara global agar kondisi iklim dunia berada dalam kondisi yang ideal. Target yang ada pun dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain pengurangan deforestasi hingga transisi energi fosil menjadi energi terbarukan.
Mengutip laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia sebagai salah satu negara yang menyepakati Paris Agreement juga memiliki komitmen untuk ikut mengurangi emisi pada 2030 sebesar 29% dengan upayanya sendiri, dan bahkan mampu mencapai pengurangan hingga 41% asalkan mendapatkan dukungan internasional. Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Undang-undang No 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris sebagai upaya mewujudkan komitmennya itu.
Melansir laman Kementerian ESDM (14/12/2021), pemerintah Indonesia juga telah mencanangkan target EBT dalam usaha mencapai bauran energi nasional sebesar 23% pada 2025 dan sebesar sebesar 31% pada 2050. Sejatinya banyak potensi yang dimiliki Indonesia yang harus dimanfaatkan, antara lain potensi energi angin, panas bumi, air, surya, hingga bioenergi dan biomassa.