BARISAN.CO – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menyatakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas tidak sama seperti sekolah tatap muka biasa.
“Pembelajaran yang kita upayakan bersama adalah tatap muka terbatas. Sekali lagi, terbatas,” kata Nadiem di kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Nadiem mengatakan itu lantaran beredar mispersepsi pemberitaan terkait pelaksanaan PTM terbatas. Yang benar, kata dia, adalah seperti dicontohkan Presiden Joko Widodo, di mana satuan pendidikan dapat mengatur satu kelas hanya diisi 25 persen murid, kegiatan belajar mengajar hanya dua jam dan satu minggu hanya dua kali pertemuan.
“Sekolah yang sudah atau dalam proses melakukan PTM terbatas dengan durasi belajar dan jumlah murid berbeda tetap diperbolehkan selama mengikuti protokol kesehatan dan di bawah batas maksimal yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19,” jelas Nadiem.
Praktisi pendidikan Abdul Kholid mengatakan, PTM mula-mula harus dipahami sebagai ‘kegelisahan menumpuk’ terutama dari orang tua murid atas pendidikan anaknya. Itulah yang harus dijadikan asesmen awal, agar PTM tidak lantas dimengerti sebagai ‘kewajiban’ oleh pihak sekolah.
“Jujur saja saya gamang dengan PTM. Tapi masalahnya ada kegelisahan menumpuk akhirnya PTM dipaksakan (berjalan). Saya pribadi tetap percaya lockdown adalah pilihan terbaik,” kata Abdul Kholid saat Barisanco meminta keterangan, Jumat (11/6/2021).
Selain itu, Abdul Kholid berpendapat bahwa penting untuk mengukur kebahagiaan siswa dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini, kalau mencermati syarat melangsungkan PTM, justru menurutnya terlihat beban berat berada di pihak siswa.
“Kalau menurut prosedur syarat buka sekolah, piloting jumlah siswa adalah 50 persen dalam satu level selama 4 jam dan tidak istirahat. Jadi peserta didik datang, belajar selama 4 jam, tanpa istirahat, terusan pulang. Apakah yang seperti ini siswa tidak tambah stres?” Katanya.
Andaikata PTM harus tetap berlangsung, Kholid berharap koordinasi antara seluruh pemangku kepentingan dapat berjalan dengan baik. Koordinasi itu harus menekankan pada aspek keselamatan perserta didik.
Keselamatan menurutnya harus menjadi alasan utama. Mengacu data pandemi, anak-anak sekolah menyumbangkan total 9,6 persen kasus positif Covid-19 secara nasional. Di samping itu, pemerintah juga masih terus disibukkan dengan penularan virus pasca libur Lebaran. “Jangan sampai nantinya PTM terbatas menjadi klaster baru yang justru menyumbang lonjakan angka,” katanya.
Dengan demikian, menurut Kholid, koordinasi terutama dari pihak seperti kepala sekolah, kepala daerah, dan orang tua murid, harus mampu merumuskan langkah preventif agar potensi penularan di kalangan murid sedapat mungkin ditekan.
Panduan menggelar PTM terbatas yang sudah dikeluarkan pemerintah, kata dia, pun perlu dijalankan sebaik-baiknya. Parameter durasi belajar, kapasitas ruangan, dan kelengkapan sanitasi harus terus menjadi perhatian.
“Bahkan hal-hal di luar yang sudah diatur yang berpotensi menciptakan kerumunan harus pula diantisipasi, seperti dengan cara menutup kantin sekolah, melarang pedagang berjualan di sekitaran sekolah untuk sementara, dan lain-lain termasuk memantau hilir-mudik bagaimana siswa berangkat dan bagaimana mereka pulang. Semua itu buruk bagi sisi psikologis dan kebahagiaan siswa dalam proses belajar, tapi harus dilakukan,” pungkas Abdul Kholid. []