Tujuan utama Program Indonesia Pintar (PIP) yang menjadi program prioritas nasional adalah memastikan anak usia sekolah berada pada satuan pendidikan.
BARISAN.CO – Program Indonesia Pintar (PIP) menjadi program prioritas nasional untuk memastikan anak usia sekolah berada pada satuan pendidikan. Salah satu sasaran Program Prioritas Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 adalah menghindari terjadinya peserta didik putus sekolah.
Tujuan utama PIP diharapkan seluruh masyarakat Indonesia dapat mengenyam dan menuntaskan pendidikan dasar hingga pendidikan menengah.
Salah satu faktor utama anak putus sekolah karena alasan ekonomi. Menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas), 76% keluarga mengakui putus sekolah karena persoalan ekonomi.
Sebagian besar tidak mampu membayar biaya sekolah yakni 67,0%. Sementara sisanya 8,7% karena harus mencukupi kebutuhan pokok atau mencari nafkah.
Pemerintah melalui PIP memberikan bantuan tunai yang langsung diberikan kepada anak didi atau orang tua/wali agar anak tidak putus sekolah. Bantuan diberikan dengan kualifikasi keluarga miskin dan rentan miskin.
Bantuan tersebut digunakan untuk membeli peralatan dan perlengkapan sekolah. Termasuk di dalamnya untuk biaya transportasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir hasil survey pada bulan November 2022 masih terdapat penduduk putus sekolah, baik di jenjang SD/sederajat, SMP/sederajat, maupun SM/sederajat.Semakin tinggi jenjang pendidikan, angka putus sekolah juga semakin tinggi.
Secara umum terdapat 1 dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang SD/sederajat. Persentase ini lebih kecil dibandingkan angka putus sekolah di jenjang SMP/sederajat dan SM/sederajat. Dari 1.000 penduduk yang mengenyam pendidikan SMP/sederajat, 10 di antaranya putus sekolah.
Sedangkan, angka putus sekolah pada jenjang SM/sederajat terdapat 13 dari 1.000 penduduk yang mengenyam pendidikan SM/sederajat putus sekolah.
Dilihat berdasarkan tipe daerah, terdapat kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan, dimana angka putus sekolah pada semua jenjang pendidikan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.
Hal ini disebabkan karena anak-anak yang tinggal di perkotaan lebih mudah mengakses sekolah dibandingkan anak-anak di perdesaan (Okumu, 2008).
Sementara itu, angka putus sekolah laki-laki pada semua jenjang pendidikan juga lebih besar dibandingkan perempuan.
Salah satu arah kebijakan yang tertuang pada RPJMN 2020-2024 adalah penanganan anak usia sekolah yang tidak sekolah (ATS), melalui program percepatan pelaksanaan pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun.
Dengan adanya program tersebut diharapkan semua anak usia sekolah yang tidak sekolah dapat kembali bersekolah serta terjadinya pemerataan dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan Gambar 5.7 terlihat bahwa semakin bertambah umur, maka persentase anak tidak sekolah juga semakin tinggi. Persentase anak tidak sekolah tertinggi berada pada kelompok umur 16-18 tahun, dimana dari 100 anak berumur 16-18 tahun, terdapat sekitar 22 anak yang tidak sekolah.
Sementara itu jika dilihat berdasarkan tipe daerah, persentase anak tidak sekolah di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.
Perbedaan yang cukup menonjol dapat dilihat berdasarkan status disabilitas. Kesenjangan tersebut terlihat semakin melebar seiring dengan bertambahnya umur, dimana pada kelompok umur 16-18 tahun terdapat 22,31 persen penduduk non disabilitas yang tidak sekolah.
Sementara itu, persentase anak tidak sekolah pada penyandang disabilitas usia 16-18 tahun mencapai 2 kali lipat dari mereka yang tidak mengalami disabilitas yaitu 56,17 persen.
Sebagaimana tujuan pembangunan pendidikan, yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif, merata, dan meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua, maka pendidikan harus dapat diakses oleh setiap orang dengan tidak dibatasi oleh usia, tempat, dan waktu.