Scroll untuk baca artikel
Berita

Realisasi Anggaran Pendidikan Tak Pernah 100%, Ekonom: Pemerintah Kesulitan Bermanuver Mengelola Keuangan Negara

Redaksi
×

Realisasi Anggaran Pendidikan Tak Pernah 100%, Ekonom: Pemerintah Kesulitan Bermanuver Mengelola Keuangan Negara

Sebarkan artikel ini
Realisasi Anggaran Pendidikan
Ilustrasi foto/Pexels.com

Awalil Rizky menilai bahwa selama ini pemerintah memang kesulitan bermanuver mengelola keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku

BARISAN.CO – Wacana baru terkait perubahan ketentuan alokasi anggaran pendidikan mencuat dalam rapat kerja pembahasan Rancangan Anggaran Pendidikan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 antara pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) di Kompleks Parlemen, Senayan.

Dalam rapat yang diadakan Rabu (4/9/2024) tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan untuk mengubah dasar alokasi anggaran pendidikan yang selama ini mengacu pada belanja negara menjadi mengacu pada pendapatan negara.

Usulan ini, jika diterapkan, berpotensi memangkas besaran anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam penjelasannya, Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah saat ini menghadapi tantangan besar dalam mengelola keuangan negara, khususnya terkait belanja wajib (mandatory spending) yang sudah diatur dalam undang-undang.

Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total belanja negara dianggap mengurangi fleksibilitas pemerintah dalam mengelola ruang fiskal.

Kondisi ini, menurut Sri Mulyani, mendorong pemerintah untuk mencari solusi yang lebih fleksibel dalam mengelola keuangan negara, termasuk dengan mempertimbangkan perubahan acuan alokasi anggaran pendidikan.

Dikutip dari Kompas.com, Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menilai bahwa selama ini pemerintah memang kesulitan bermanuver mengelola keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena adanya aturan kewajiban anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari belanja.

Hasilnya, anggaran pendidikan dalam APBN memang nyaris tidak pernah terealisasi sepenuhnya dalam beberapa tahun terakhir

“Dalam beberapa tahun terakhir, realisasinya jauh dari 20 persen belanja. Kemungkinan karena kesulitan itu terus berulang, sekalian saja diubah menjadi mengacu ke pendapatan. Sebab, dalam praktik beberapa tahun terakhir, memang terpenuhi kalau 20 persen dari pendapatan, mengingat pendapatan nilainya lebih kecil dari belanja,” ungkap Awalil.

Perubahan ini tentu tidak tanpa konsekuensi. Jika alokasi anggaran pendidikan diubah menjadi berdasarkan pendapatan, ada kekhawatiran bahwa dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan akan berkurang secara signifikan.

Mengingat pentingnya peran pendidikan dalam pembangunan sumber daya manusia, potensi penurunan anggaran ini dapat berdampak serius terhadap mutu pendidikan nasional.

Anggaran yang lebih kecil bisa memengaruhi berbagai program pendidikan, termasuk subsidi untuk sekolah-sekolah, pengadaan buku dan bahan ajar, serta pelatihan guru.

Awalil Rizky menggarisbawahi bahwa perubahan acuan ini bukan solusi tepat untuk masalah yang ada.

Menurutnya, persoalan utama justru terletak pada kualitas belanja, bukan besaran anggaran itu sendiri.

“Sebenarnya masalah utama kita adalah pada kualitas belanja, termasuk untuk pendidikan. Jadi, yang perlu segera diperbaiki itu efisiensi dan efektivitasnya,” tutup Awalil.

Wacana ini diprediksi akan menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama dari sektor pendidikan. Lembaga pendidikan dan para praktisi pendidikan sudah mulai menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan penurunan anggaran.

Beberapa pihak bahkan menganggap bahwa usulan ini bisa menjadi langkah mundur dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Dalam beberapa hari ke depan, diskusi mengenai usulan ini dipastikan akan semakin intensif, baik di kalangan legislatif maupun masyarakat umum.

Pemerintah dan DPR diharapkan bisa mempertimbangkan secara matang implikasi dari perubahan ini sebelum mengambil keputusan akhir. Keputusan apapun yang diambil akan berdampak langsung pada masa depan pendidikan Indonesia dan generasi penerus bangsa. []