Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Sebelum Resign, Rencanakanlah Exit Plan Agar Tidak Menyesal

Redaksi
×

Sebelum Resign, Rencanakanlah Exit Plan Agar Tidak Menyesal

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COResign atau mengundurkan diri adalah pilihan bagi karyawan. Setiap karyawan yang memilih pilihan tersebut tentu mempunyai beragam alasan. Misal, karena gaji pokok atau benefit perusahaan yang tidak memenuhi ekspektasi, atau mungkin juga karena tidak jelasnya jenjang karir di perusahaan itu.

Karenanya, resign dapat dipahami sebagai fenomena yang lazim dijumpai dalam dunia kerja. Namun, walau jamak dijumpai bukan berarti hal itu adalah perkara sepele. Mestinya, ketika akhirnya memilih resign, seorang karyawan sudah melewati proses pertimbangan yang matang, baik itu untuk diri sendiri dan boleh jadi juga untuk orang-orang di sekelilingnya.

Uniknya, tak sedikit dari karyawan yang resign lantaran terinspirasi dari rekan-rekan kerjanya yang satu per satu resign meninggalkannya. Boleh jadi, karyawan tersebut goyah hatinya untuk tetap bertahan atau ikut resign juga ketika melihat rekan-rekannya itu resign.

Itulah mengapa, fenomena resign massal dapat terjadi, dan menjadikannya lumrah-lumrah saja serta faktanya hal itu bukanlah hal yang baru. Namun, sangat disayangkan apabila keputusan resign tidak dipertimbangkan secara matang apalagi hanya karena sekedar ikut-ikutan.

Exit Plan

Sadar akan posisi diri menjadi pertimbangan penting untuk memutuskan resign atau tidak. Maka itu, perlu berpikir dengan jernih terkait tujuan dan rencana hidup. Baik itu dalam jangka pendek, menengah, dan panjang supaya dorongan untuk resign itu memang timbul atas kesadaran diri sendiri.

Pasalnya, apabila keputusan resign itu muncul tanpa alasan yang jelas maka akan berpotensi menjadi pilihan yang akan disesali kelak. Terlebih, jika masih berkutat dengan masalah keuangan dan pemenuhan hajat hidup, maka memutuskan resign haruslah dengan pertimbangan yang matang dan merencanakan exit plan.

Apalagi, bila sudah berkeluarga maka tidak hanya memikirkan kebutuhan diri sendiri tapi juga turut memikirkan urgensi tanggung jawab yang diemban sebagai kepala atau anggota keluarga. Sehingga, dalam hal ini, haruslah bijak antara menempatkan posisi diri dan tanggung jawab dalam keluarga supaya keputusan untuk resign atau tidak menjadi keputusan win-win solution dan tidak merugikan salah satu pihak.