Yanto menilai, erosi adalah sesuatu yang alamiah, hanya saja yang membedakan DAS-nya sehat atau kritis itu dari lajunya.
BARISAN.CO – Peneliti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengungkapkan ribuan bendungan besar di dunia berisiko kehilangan lebih dari seperempat kapasitas penyimpanannya akibat sedimentasi pada 2050.
Ahli hidrologi, Yanto Ph.D., berpendapat, hal itu bisa terjadi karena erosi lahan Daerah Aliran Sungai (DAS), yang disebabkan oleh alih fungsi hutan dan penebangan liar.
“Tanah yang awalnya tertutup menjadi terbuka, sehingga menyebabkan erosi. Penyebab yang kedua adalah pengolahan tanah,” kata Yanto kepada Barisanco pada Jumat (20/1/2023).
Yanto menjelaskan, banyak daerah di dataran tinggi tinggi, seperti Dieng justru dijadikan pertanian kentang, yang membuat tanah diolah secara intensif.
“Ketika tanah dibuka itu gembur, tapi kalau hujan malah erosi. Itu harus diubah soal jenis tanaman dan pengelolaan tanahnya,” jelasnya.
Jenis tanaman yang dimaksudnya itu, daerah-daerah di ketinggian tertentu seharusnya hanya boleh ditanami jenis kayu alias tanaman menahun, sehingga tidak terlalu sering diolah.
Selain itu, Yanto menyarankan, agar tidak ditanami dengan tanaman yang musiman, seperti kentang, jagung, dan lainnya karena intensitas pengolahan tanahnya akan semakin tinggi.
“Kalau pun ditanami dengan tanaman musiman, maka pola pengolahan tanahnya harus menggunakan pola yang mencegah erosi. Kebanyakan petani juga lebih senang mengolah tanah yang gundukan searah lereng, bukan terasering,” ungkapnya.
Namun demikian, Yanto menilai, erosi adalah sesuatu yang alamiah, hanya saja yang membedakan DAS-nya sehat atau kritis itu dari lajunya.
“Artinya walau kondisi DAS-nya bagus. yang namanya waduk itu pasti akan mengalami sedimentasi, tetapi dengan laju berbeda. Di waduk itu juga ada standar bakunya di mana harus dilakukan pengerukan secara berkala,” urainya.
Yanto menerangkan, mungkin dengan volume yang menurun tidak berdampak signifikan di hilirnya apabila pola penggunaan airnya diubah.
“Misalnya, kalau dulu orang nanam padi itu kan airnya menggenang, sehingga boros air. Sekarang ini sudah ada banyak teknik pertanian yang lebih hemat air, tapi dengan produktivitas yang sama, contohnya dengan irigasi tetes dan hidroponik,” terangnya.
Dengan begitu, Yanto menyampaikan, walau kapasitas airnya turun, tidak banyak memengaruhi produktivitas pertanian yang ada di bawah.
“Itu salah satu upaya mitigasi konteks kehidupan manusianya karena kalau solusi apabila sudah terjadi sedimentasi yang tinggi harus apa, caranya dikeruk. Setiap pengelola waduk harus mengukur tingkat sedimentasi dan dirancang dengan usia tertentu, maka sudah punya perkiraan dengan laju sekian, umur waduknya sekian tahun,” sambungnya.
Menurutnya, kalau dikelola bisa digunakan normal kembali, namun biayanya memang mahal. Akan tetapi, jika buat baru di satu daerah aliran sungai yang sama, itu akan dibatasi oleh pilihan tempat.
“Karena tidak semua tempat, cocok dibangun waduk. Ada syarat khususnya, supaya kuantitasnya maksimum, jadi mau tidak mau menurutku, pilihannya melakukan pengerukan berkala atau laju sedimentasinya dikurangi,” pungkasnya.