Desa Timbulsloko yang tenggelam akibat rob kembali mendapat perhatian melalui gelaran “Lentera Cerita” yang diwarnai seni, solidaritas, dan kepedulian sosial.
BARISAN.CO – Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, kembali menjadi sorotan. Desa yang akrab disebut “desa apung” karena tenggelam akibat banjir rob ini, Minggu (31/8/2025) sore, menjadi panggung gelaran seni dan kepedulian bertajuk “Lentera Cerita: Merekam Jejak Budaya dan Kepedulian Sosial Suara Warga di Desa Tenggelam Timbulsloko.”
Kegiatan ini digelar oleh Santri Bajingan bersama LazisMU Jawa Tengah, LTM PWNU Jawa Tengah, PC ISNU Demak, Pesantren Sastra, dan Suluh Ar-Rosyid.
Ratusan warga berkumpul di halaman Masjid Al Ikhlas, menikmati suguhan seni sekaligus merasakan semangat solidaritas.
Ketua penyelenggara, Beno Siang Pamungkas, menegaskan acara ini bukan sekadar hiburan. Menurutnya, seni dapat menjadi jembatan untuk menyuarakan realitas warga pesisir yang setiap hari berjuang di tengah genangan rob.
“Semoga aksi kecil kami ini bisa mengangkat semangat saudara-saudara kita yang memilih tetap bertahan di tanah kelahiran mereka. Kepada merekalah kita bisa belajar kesabaran, keikhlasan, dan ketegaran bukan lewat kata-kata, tapi tindakan nyata,” ujar pengasuh Pesantren Sastra itu.
Timbulsloko telah dua dekade kehilangan wajah lamanya. Sawah dan ladang yang dulu subur kini tinggal kenangan. Rumah-rumah warga terendam air, akses jalan darat terputus, dan perahu menjadi transportasi utama. Kondisi serupa juga dialami sedikitnya sepuluh desa lain di Kecamatan Sayung.
Tokoh masyarakat, Shobirin, mengaku sangat terharu. Baginya, Lentera Cerita adalah hiburan yang lama dirindukan warga.
“Baru kali ini, setelah desa kami ditenggelamkan air, ada hiburan kesenian yang beragam. Anak-anak bisa melukis, bernyanyi, dan berbagi kebahagiaan,” tuturnya.
Ia menambahkan, sejak banjir merendam permukiman, warga kehilangan banyak hal: rumah, sawah, bahkan kenangan masa kecil. Kehadiran seni, katanya, memberi ruang imajinasi baru bagi anak-anak, menghadirkan dunia penuh warna di tengah genangan.
Direktur Lazis Muhammadiyah (LazisMU) Jawa Tengah, Ikhwanu Shoffa, menekankan seni sebagai bahasa universal kemanusiaan.
“Ketika kemanusiaan dicabik ketidakadilan, Sayung menjawab dengan teriakan budaya. Suara keras itu ditujukan pada mereka yang selama ini menutup telinga,” tegasnya.
Pegiat Suluh Ar-Rosyid, Lukni Maulana, menambahkan, Lentera Cerita lahir dari keyakinan bahwa narasi memiliki kekuatan untuk menggerakkan kepedulian.
“Acara ini menjadi panggung untuk menyuarakan sekaligus merawat harapan. Melalui publikasi media, cerita dari Timbulsloko akan menjangkau lebih luas, agar publik sadar bahwa isu lingkungan bukan sekadar angka, tapi tentang manusia yang perlahan kehilangan kehidupannya,” ujarnya.