Pemerintah membagikan makanan bergizi berupa beras, telur, dan ayam kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)
Oleh: Risky Kusuma Hartono, Ph.D. dan Fadhilah Rizky Ningtyas, S.K.M.
(Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (PKJS-UI))
PEMERINTAH telah memberikan bantuan sosial (bansos) agar keluarga pra-sejahtera tetap mendapatkan kecukupan makanan bergizi di tengah kenaikan harga kebutuhan pangan.
Pemerintah membagikan makanan bergizi berupa beras, telur, dan ayam kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Kebijakan ini tentu telah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Orang Miskin, yang menyatakan bahwa masyarakat miskin dan rentan memiliki hak untuk menerima perlindungan sosial sehingga keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum.
Di tengah pemberian bantuan langsung tunai dan makanan bergizi, kita tentu masih ingat dengan barang godaan, yaitu rokok. Rokok menjadi konsumsi terbesar kedua rumah tangga pra-sejahtera setelah konsumsi makanan dan minuman jadi berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022.
Bahkan, terdapat studi yang menemukan bahwa keluarga penerima bantuan sosial lebih banyak yang mengonsumsi rokok dibandingkan dengan keluarga non-penerima. Tidak menutup kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dana bansos yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan pokok, tapi justru dialihkan untuk membeli rokok.
Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang jatuh pada 31 Mei 2023 ini mengusung tema tentang “We need food, not tobacco”. Ini sejalan dengan semangat setiap keluarga termasuk kelompok pra-sejahtera untuk terus meningkatkan konsumsi gizi keluarga dibandingkan dengan memilih membeli rokok.
Kebijakan pemerintah melalui pemberian bansos bertujuan untuk mempertahankan kebutuhan pangan keluarga pra-sejahtera. Keluarga penerima manfaat bansos perlu lebih bijak untuk memilih tidak belanja rokok, melainkan lebih meningkatkan kebutuhan gizi keluarga terutama untuk anak, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang lebih sehat.
Keluarga miskin perokok terbukti cenderung dapat meningkatkan risiko stunting pada anak karena kekurangan asupan nutrisi.
Selain itu, bukti lain menunjukkan bahwa anak dari keluarga perokok penerima bansos cenderung mengalami putus sekolah, serta perempuan dan anak-anak dalam keluarga miskin kerap menjadi korban paparan rokok. Ini dapat mengakibatkan penurunan produktivitas dan penurunan kesehatan mereka, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Apalagi studi membuktikan bahwa kenaikan 1 persen belanja rokok dapat meningkatkan 6 persen poin kemiskinan pada rumah tangga. Momen HTTS inilah, saatnya bagi Pemerintah untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak berperilaku merokok, termasuk keluarga penerima bansos agar mereka dapat terlepas dari jeratan kemiskinan.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah menekankan bahwa dana bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk membeli rokok.
Selain itu, Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 175 Tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Lingkungan Kementerian Sosial Pasal Keenam dan Ketujuh menyebutkan adanya pelarangan pengeluaran dana bantuan sosial untuk membeli rokok.
Kebijakan dan regulasi ini memberikan peluang untuk menekan konsumsi rokok pada keluarga penerima bansos. Sayangnya, peluang tersebut tidak terlepas dari berbagai macam tantangan.
Keluarga miskin masih memiliki kesempatan untuk mempertahankan perilaku merokok mereka karena harga rokok di Indonesia masih sangat murah dibandingkan dengan negara berpenghasilan menengah ke atas lainnya, seperti Bangladesh, Brasil, India, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.