Kemunafikan seperti itu menunjukkan betapa gigihnya supremasi kulit putih dalam wacana media sebagai arus utama.
Selama bertahun-tahun, orang-orang Palestina dan pendukungnya menyerukan boikot budaya Israel dengan tanggapan beragam. Akan tetapi, boikot budaya Rusia malah cepat terjadi dari sejumlah badan olahraga dan budaya internasional yang membatalkan acara serta kemitraan di seluruh dunia. Ini menjadi kontradiksi. Bahwasanya memboikot negara yang tertuduh melanggar hukum internasional bukan mekanisme efektif meminta pertanggungjawaban, melainkan kewajiban moral asalkan negara itu bukan Israel.
Kenyataannya, dunia ini selalu penuh dengan standar ganda, inkonsistensi, empati selektif, serta kemunafikan. Sejak 1948, Palestina harus mengemis, berdarah-darah, dan meregang nyawa agar kemanusiaan dan hak untuk melawannya mendapat pengakuan. Palestina dituntut untuk berdialog dan bersabar hidup di bawah pendudukan militer yang biadab dan terus meluas. Namun, Barat seakan mengabaikannya.
Meski belum lama terjadi, invansi Rusia ke Ukraina, Barat dengan tegas ingin mengangkat senjata untuk membela Ukraina. Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss mengatakan, dia mendukung individu dari Inggris yang mungkin ingin pergi ke Ukraina untuk berperang bergabung dengan pasukan internasional , meski ini ilegal. Namun, pernyataan itu, belum sama sekali terdengar saat jutaan rakyat Palestina menjadi korban atas kekejaman Israel selama bertahun-tahun.
Sembari berdoa dan berharap invansi berakhir, ada banyak pekerjaan untuk memastikan setiap manusia memiliki akses setara dalam memperoleh hak sipil dan martabatnya selama konflik berlangsung. [rif]