Scroll untuk baca artikel
EkonomiTerkini

Sumba Bakal Berjuluk Pulau Sorgum, Ini Faktanya

Redaksi
×

Sumba Bakal Berjuluk Pulau Sorgum, Ini Faktanya

Sebarkan artikel ini

Tercatat total lahan kering di Sumba Timur mencapai 665.000 hektare dan lahan yang bisa digunakan untuk bercocok tanam 568.000 hektare.

BARISAN.CO – Sumber pangan utama suatu daerah tidak sebatas sebagai makanan pokok tetapi di dalamnya ada unsur budaya dan juga soal harga diri dan kadaulatan pangan. Ketika Pemerintah mencanangkan perluasan dan pengembangan (food estate) Sorgum secara masif, daerah yang paling bahagia tentu masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bupati Sumba Timur Kristofel Praing menyatakan rencana Pemerintah untuk menjadikan daerahnya sebagai salah satu lahan pengembangan Sorgum sebagai berkah. Kebijakan itu memberikan kemerdekaan kepada masyarakat Sumba Timur untuk mengonsumsi pangan yang menjadi potensi daerahnya.

“Ini berarti mengembalikan harkat dan martabat serta kedaulatan pangan masyarakat Sumba,” kata Kristofel dalam sebuah diskusi yang digelar Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI), baru-baru ini.

Masyarakat Sumba tentu sangat gembira karena Sorgum sejak zaman leluhur sudah menjadi makanan utama selain jagung. Namun, kebiasaan mengonsumsi nasi tersingkir setelah rezim Orde Baru membuat kebijakan pangan utama masyarakat Indonesia adalah beras.

“Dari nenek moyang, kami sudah mengembangkan Sorgum. Mengonsumsi nasi itu setelah ada kebijakan nasional yang menggeser Sorgum dan kami menggantinya dengan beras,” kata Kristofel.

“Karena itu ketika Pemerintah berencana mengembangkan Sorgum di Sumba Timur, ini adalah berkah bagi kami. Ini mengembalikan harkat dan martabat masyarakat Sumba Timur,” tambahnya.

Tercatat total lahan kering di Sumba Timur mencapai 665.000 hektare dan lahan yang bisa digunakan untuk bercocok tanam 568.000 hektare.

“Untuk menanam Sorgum sudah dipersiapkan 150 hektare. Lahan seluas itu nantinya akan digunakan untuk menghasilkan bibit,” katanya Kristofel.

Setiap satu hektare menghasilkan empat ton. Jadi total benih yang akan dihasilkan mencapai 600 ton.

Tantangan Pemerintah yang menugaskan Pemkab Sumba Timur untuk menyediakan lahan 17.000 hektare sebenarnya tidak masalah. Konsekuensinya, mengenai ketersediaan bibit.

“Kalau setiap satu hektare diasumsikan butuh 10 kilogram berarti bibit yang dibutuhkan 170 ton,” ujarnya. “Bibit sebanyak itu optimistis bisa kita penuhi,” tambahnya.

Pemkab Sumba Timur, kata Kristofel, siap untuk menjalankan program Pemerintah Pusat. Namun kesiapan itu tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemkab Sumba Timur. Karena kesiapan itu di antaranya meliputi lahan, bibit, pupuk, alat pertanian, tenaga kerja, irigasi, juga pestisida.

“Nah, terkait dengan SDM seperti petani dan penyuluhnya ini terus terang saja kami tidak banyak,” katanya.

Dari luasan tanaman Sorgum yang sudah ada sekira 7.000 hektare hanya ada sekira 100.000 petani dari total penduduk 180.000 jiwa.

Menyiasati kekurangan SDM ini maka perlu dilakukan mekanisasi. Seperti tersedianya traktor dan alsintan lainnya.

“Jadi untuk mengolah lahan seluas 17.000 hektare itu kalau ditotal kita butuh 340 traktor roda empat dengan asumsi satu traktor untuk 5 hektare,” katanya.

Ketersediaan air juga harus menjadi perhatian Pemerintah. Di Sumba hanya tiga bulan masa hujan sementara sembilan bulan sisanya.

“Karena itu bendungan, embung dan sumur bor menjadi kebutuhan,” ujarnya.

Sorgum Sebuah Jawaban

Ketua Umum ICMI Prof. Dr. Arif Satria mengatakan Sorgum adalah sebuah jawaban bagi kondisi pangan dunia terutama untuk Indonesia saat ini akibat 3C (Covid, Climate dan Conflict).

“Ini dampaknya pada 193 juta jiwa di 53 negara yang mengalami krisis pangan,” kata Arif.

Rektor IPB University ini menyatakan, ketergantungan Indonesia atas impor gandum pelan-pelan harus dikurangi. Ketergantungan Indonesia terhadap gandum impor sangat luar biasa. Dalam 10 tahun terakhir terus meningkat dari 4 juta menjadi 12 juta ton.