Scroll untuk baca artikel
Terkini

Banjir Semarang Belum Surut, Ahli Hidrologi Beberkan Penyebabnya

Redaksi
×

Banjir Semarang Belum Surut, Ahli Hidrologi Beberkan Penyebabnya

Sebarkan artikel ini

Empat hari banjir di kawasan Kaligawe, Semarang belum surut, Ganjar Pranowo meminta bantuan Kementerian PUPR.

BARISAN.CO – Gubernur Jawa Tengah dua periode, Ganjar Pranowo meminta bantuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) untuk mengatasi banjir di Kota Semarang pada Selasa (3/1/2023). Tepatnya, di kawasan Kaligawe yang sudah empat hari belum surut juga.

Berdasarkan hasil pengecekan banjir ke lapangan, di Kelurahan Sawah Besar masih ada beberapa titik perkampungan yang masih tergenang banjir. Saat dicek, Ganjar menemukan, pompa penyedot yang ada dalam kondisi terendang, sehingga pompa tidak dapat dioperasikan.

Kementerian PUPR pun telah mendatangkan bantuan pompa untuk penangan banjir di Kaligawe. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono menyampaikan, paling lambat besok, jalan sudah bisa kering.

Bencana banjir di Kota Semarang disebut-sebut sebagai akibat dari cuaca buruk, yakni tingginya intensitas hujan yang terjadi sejak Jumat (30/12/2022).

Namun, Yanto, Ph.D., ahli hidrologi Universitas Jenderal Soedirman mengatakan, selain curah hujan yang tinggi, penurunan tanah juga menjadi penyebab banjir di Semarang.

Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letter Volume 49 Issue 7, peneliti menemukan, Semarang merupakan kota dengan laju penurunan tanah tertinggi kedua di dunia sebesar 3,96 sentimeter per tahun, setelah Tianjin di Cina sebanyak 5,22 sentimeter per tahun.

Yanto berpendapat, satu-satunya solusi jangka pendek untuk menangani banjir yang terjadi di Semarang memang dengan menggunakan pompa.

Data Badan Pusat Statistik menyebut, jumlah penduduk di Semarang pada tahun 2021, berjumlah 1.059.844 juta jiwa. Meski menjadi ibu kota Jawa Tengah, Semarang justru bukan daerah yang sangat padat.

Yanto berpendapat, melihat kondisi banjir di Semarang, kemungkinan pemerintah tidak memindahkan penduduk karena tidak ada kerusakan rumah dan penduduk masih bisa tinggal di rumah masing-masing.

“Magnitude banjir juga semakin lama, semakin kecil, menyiapkan lokasi pengungsian butuh biaya dan sumber daya yang besar. Berdasarkan pengalaman, memindahkan penduduk untuk mengungsi karena banjir bandang yang merusak bangunan,” kata Yanto.

Di Jepang, penurunan muka tanah pun terjadi. Pertama kali, diidentifikasi di Kota Ward Tokyo pada 1910-an dan Osaka pada 1920-an. Pemerintah di sana kemudian menanggulanginya dengan mengendalikan tingkat pemompaan air tanah.

Selain itu, karena kerusakan progresif yang disebabkan penurunan muka tanah tersebut membuat masyarakat Jepang menyadari, perlunya kontrol pemompaan air tanah. Dari situ, terbitlah dua Undang-Undang untuk mengurangi hasil air tanah, yakni Hukum Air Industri dan Hukum Mengenai Peraturan Pemompaan Air Bawah Tanah untuk Penggunaan Bangunan, masing-masing pada tahun 1956 dan 1962.

Soal kontrol tersebut, Yanto menuturkan, Indonesia memiliki kontrol tersebut, namun tidak menyeluruh.

“Untuk pengambilan air tanah dangkal dengan debit kecil, seperti sumur warga, tidak diwajibkan mendapatkan izin pengambilan air tanah. Kemudian, izin pemompaan diterapkan pada pengambilan air tertentu dari akuifer dengan debit tertentu,” jelasnya.

Salah satu penyebab terjadinya penurunan tanah ialah, ekstraksi air tanah yang berlebihan. Yanto berpendapat, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) umumnya mengutamakan air permukaan dan mata air karena faktor biaya.

“Kalau dibanding mata air, air tanah akan lebih mahal, sedangkan dibanding mengolah air sungai yang tercemar, air tanah jadi lebih murah. Jadi, bergantung dari sumber yang tersedia,” ujarnya.