Scroll untuk baca artikel
Risalah

Tukang Dawet di Tepi Sungai Brantas & Peristiwa 1965 (Narasumber Kecil dengan Cerita Besar)

Redaksi
×

Tukang Dawet di Tepi Sungai Brantas & Peristiwa 1965 (Narasumber Kecil dengan Cerita Besar)

Sebarkan artikel ini

Wilayah Indonesia yang luas dan selalu menjadi wilayah rebutan antarpenguasa politik ekonomi dunia, adalah salah satu wilayah perang yang terjadi di periode ini.

Di wilayah Asia Tenggara yang lain, situasi tak kalah horor. Misalnya, di Kamboja. Bukti adanya perang saudara di sini bisa dilihat dari situs kekejaman masih dipelihara oleh pemerintahnya. Situs dipelihara untuk mengingatkan agar peristiwa kejam ini tidak terulang.

Di ibu kota Pnom Penh, masih dilestarikan situs penjara Tuol Sleng, bekas bangunan sekolah yang digunakan pasukan Pol Pot untuk membunuh dan menyiksa tawanan-tawanan. Beberapa puluh kilometer dari ibu kota, ada killing field (ladang pembantaian) manusia yang masih bisa disaksikan sisa-sisa jasad dalam jumlah ribuan orang.

Saya berkesempatan mengunjungi lokasi itu pada tahun 2004 atas undangan Forum Asia dengan fasilitas Aliansi Jurnalis Independen. Beberapa kawan jurnalis yang datang pada tahun-tahun sesudahnya, mengunggah cerita yang tidak beda.

Lahan pembantaian manusia itu adalah rawa-rawa seluas sekitar 5 hektar atau lebih. Digunakan untuk membuang menimbun korban yang dibunuh dalam perang saudara di Kamboja. Dan sisa-sisa tulang belulang menumpuk begitu saja.

Raja Kamboja, mendiang Norodom Sihanouk membangun candi yang dimaksudkan agar para arwah yang tewas menerima iklhas kematian yang terjadi dengan tragis. Di kamboja bangunan suci yang dibangun itu adalah salah satu bagian dari cara bangsa ini meresolusi konflik.

Berbeda dengan di Indonesia, di mana pertempuran dimenangkan oleh tentara dan kalangan agama. Di Kamboja perang warga dimenangkan oleh kelompok komunis. Korban adalah kelas menengah dan kalangan agama. Sama dengan di Indonesia, korban tewas di Kamboja begitu besar.

Catatan di Indonesia, penduduk tahun 1965 diperkirakan berjumlah 45 juta orang. Yang diperkirakan tewas kisaran 500.000 sampai 1 juta orang warga. Disebut kisaran, karena sampai hari ini, berapa jumlah orang yang tewas, tidak pernah didata secara benar.

Pemerintah Indonesia tidak secara sungguh-sungguh berusaha mendata masalah dan menyelesaikan sisa konflik yang terjadi. Namun, data di Kamboja, paling tidak yang dimiliki para jurnalis setempat, menyebut angka tewas di Kamboja, lebih besar. Jumlah penduduk Kamboja sebelum perang antara warga, sebanyak sekitar 10 juta jiwa. Yang tewas dalam perang saudara itu, di mana salah satu pihak yang menang melakukan pembantaian massal, mencapai sekitar 3 juta warga.

Saya sempat bertanya, berapa jumlah warga muslim di sana dan berapa yang tewas. Saya dapatkan data dari salah seorang kawan saya, jurnalis Kamboja. Jumlah warga muslim waktu itu ada 800 ribu jiwa, dan yang tewas sebanyak 500 ribu. Kebanyakan yang tewas adalah kelas menengah juga para petani yang hidupnya sejahtera.