Scroll untuk baca artikel
Blog

100% Profesional, 0% Pencitraan: Jakarta Mengendalikan Corona

Redaksi
×

100% Profesional, 0% Pencitraan: Jakarta Mengendalikan Corona

Sebarkan artikel ini
Oleh: Tatak Ujiyati

“Anies serahkan penanganan Covid ke Pusat,” begitu headline beberapa media. Judul itu memancing beragam reaksi, yang mempertanyakan apakah Jakarta sudah tak mampu menangani wabah. Rupanya ada salah paham berjamaah. Ini bukan soal Jakarta tak mampu kendalikan Corona. Tapi soal pengendalian di daerah penopang Jakarta – Bodetabek – yang memang diluar kewenangan Gubernur Jakarta.

Ada seorang pengamat yang memahami maksud Anies. Seorang epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman. Beliau mendukung usulan Anies. “Langkah Gubernur DKI hrs disikapi serius. Sebab, pengendalian pandemi tidak bisa dilakukan secara soliter, parsial dan sektoral”.

Ada lebih banyak rumah sakit rujukan dan sistem pendataan yang jauh lebih terbuka di DKI Jakarta. Jakarta juga telah memiliki data terintegrasi antar RS Rujukan. Ada update keterisian tempat tidur (bed occupancy ratio/ BOR) yang dipublikasi setiap minggunya. Situasi ini membuat pemerintah DKI Jakarta bisa lebih cepat melihat kecenderungan atau tren.

Pemprov DKI Jakarta bisa membaca dengan tepat situasi saat ini. Bahwa jumlah kasus terus naik dan fasilitas kesehatan hampir penuh. Kapasitas tempat tidur RS Rujukan dan ICU tinggal tinggal sedikit. Data 19 Januari 2021 menunjukkan 87 persen tempat tidur di RS Jakarta telah terisi. Melihat tren ini Anies tahu bahwa Jakarta memerlukan penambahan ketersediaan tempat tidur, ICU dan ventilator.

Data Pemprov DKI Jakarta menunjukkan hampir seperempat pasien Covid di Jakarta berasal dari luar Jakarta. Sementara itu data yang diluncurkan Kompas menunjukkan bahwa daerah penyangga Jakarta tingkat keterisiaannya masih lebih rendah.

Sumber: Pemprov DKI Jakarta.

Kita tahu, memang wajar orang lebih suka dirawat di Jakarta karena kualitas layanan kesehatannya dianggap lebih baik. Tapi di masa pandemi ini, warga Jakarta juga sedang butuh fasilitas kesehatan. Kita harus memikirkan jalan keluarnya karena ke depan kasus kemungkinan akan terus naik. Anies tak ingin fasilitas kesehatan di Jakarta kolaps.

Fasilitas Kesehatan daerah penyangga perlu dimaksimalkan potensinya. Diperbanyak jumlah RS Rujukannya, ditambah jumlah ICU-nya dan dilengkapi fasilitasnya. Agar pasien di daerah penyangga bisa lebih banyak tertangani di daerah asal mereka sendiri.

Anies tahu apa yang harus dilakukan, tapi ia tak punya kewenangan untuk lakukan koordininasi, intervensi, dan upgrading layanan di wilayah Bodetabek. Yang punya kuasa, punya kewenangan, koordinasi dan intervensi antarwilayah administrasi adalah Pemerintah Pusat. Memang sebenarnya itu sudah tugasnya.

Jadi terminologi “mengambil alih kewenangan” yang dipakai media sebenarnya keliru. Yang benar adalah agar Pemerintah Pusat aktif menjalankan kewajibannya melakukan koordinasi dan intervensi penambahan kapasitas dan layanan RS Rujukan Covid mengingat tren ke depan yang kemungkinan makin memburuk.

Akibat kekeliruan terminologi yang dipakai media itu Anies disalahpahami, lalu banyak yang bully. Kok menyerah padahal anggaran DKI paling banyak. Walikota Bogor ketika ditanya juga mengaku tak paham. Seorang politisi Gerindra bahkan menyuruh Anies mundur.

Aneh bukan? Jika kita tengok ke belakang, bukankah Anies yang waspada sedari awal wabah Corona dan serius mencari cara mengendalikan. Anies pula yang bekerja profesional menggunakan data, yang memakai masukan epidemologi dan akademisi dalam setiap pengambilan keputusan, yang menginisiasi keterbukaan informasi. Aneh malah dia yang dianggap menyerah lalu disuruh mundur.

Bukan menyerah, tapi mengambil langkah agresif antisipatif. Karena Anies bisa membaca tren, bahwa wabah Corona ini tak bisa ditangani secara soliter, parsial, dan sektoral. Pemerintah Daerah juga tak bisa bekerja sendiri-sendiri, harus ada koordinasi dan saling bekerja sama. Dan itu semua adalah kewenangan pemerintah pusat.