BARISAN.CO – Mantan Peneliti LIPI Dipo Alam menuturkan Ihwal kebijakan untuk melebur lembaga-lembaga riset dan LIPI di bawah BRIN ditambah adanya Dewan Pengarah dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) memunculkan pertanyaan secara teori atau kajian ilmiah.
“Perihal studi perbandingan atau referensi yang dijadikan acuan dalam kebijakan peleburan tersebut,” sambungnya dalam Diskusi Publik: Politisasi Sains dan Lembaga Riset yang diselenggarakan LP3ES, Rabu (15/9/2021)
Menurut Dipo, terdapat tiga cacat serius pembentukan BRIN yang melebur lembaga riset dan LIPI dalam satu struktur organisasi BRIN.
Adapun tiga cacat serius tersebut, pertama, cacat material yakni pembentukan BRIN beserta adanya Dewan Pengarah BRIN menjadi cacat. Karena tidak didapat atau sulit ditemukan referensi untuk membandingkan kajian model pembentukan BRIN dan adanya Dewan Pengarah.
“Hal itu hanya dapat diperbandingkan dengan struktur organisasi politik Partai Komunis China (PKC) dimana adanya Dewan Pengarah,” terang Dipo
Kedua, keberadaan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan riset telah diperintahkan oleh Undang-undang no. 11/2009 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Namun kelembagaan BRIN hanya diatur melalui Keputusan Presiden (Kepres).
Dipo mengatakan LIPI dibentuk oleh UU No 6 tahun 1956 juga oleh Ketetapan LPI melalui Tap MPRS No. 18b tahun 1967. BATAN dibentuk oleh UU No 31 tahun 1964 dan diperkuat oleh UU No 10 tahun 1997.
“Menjadi masalah serius, dimana BRIN malah membypass semua Undang-undang yang membentuk semua lembaga riset. Bahkan semuanya hanya dibubarkan melalui sebuah Kepres,” tegasnya
Ketiga, tidak lagi didasari oleh spirit dari riset dan inovasi yang benar. Keberadaannya tidak lagi mencirikan sebuah organisasi riset level negara, tetapi sudah mirip ormas atau lembaga politik. Terlebih dengan adanya struktur Dewan Pengarah di dalamnya.
Dipo menyatakan, dalam Perpres BRIN lama No. 74 tahun 2019 tidak disebutkan adanya struktur Dewan pengarah. Pada Pasal 4 hanya disebutkan Struktur lama terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan, dan Deputi Bidang Penguatan Inovasi.
Kualitas demokrasi
Sementara itu, Didik J Rachbini mengatakan masalah kebebasan akademik di kampus-kampus Indonesia yang mulai merosot mengiringi dileburnya Kementerian Ristek, LIPI dan lembaga ilmiah lainnya di bawah BRIN.
“Bukanlah satu keputusan akademis yang berasal dari kajian ilmiah yang bersandar pada kebenaran ilmiah. Tetapi lebih merupakan sebuah keputusan politik kekuasaan yang mengabaikan aspek kebebasan dan kebenaran ilmiah,” tandasnya.
Menurut Didik, hal itu saat ini menjadi sebuah masalah yang sangat serius dan perlu dipertanyakan. Karena satu kebenaran ilmiah tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan politik dari manapun asalnya.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengatakan outlook refleksi demokrasi di Indonesia hasil kajian LP3ES lewat hasil kajian/riset para ilmuwan politik dalam dan luar negeri memang menyatakan terjadinya kemunduran kualitas demokrasi secara signifikan di Indonesia.
Menurut Wijayanti, hal tersebut ditandai oleh beberapa hal yakni kemunduran demokrasi, politisasi riset dan terjadinya politisasi ilmu pengetahuan dan dunia akademik.
“Hal itu menjadi semakin runyam ketika kini para akademisi diwajibkan melakukan apel pagi setiap jam 10.00 meski pada jam yang sama ada jadwal mengajar,” pungkasnya. [Luk]