BARISAN.CO – Menurut laporan Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response (IPPPR), asal muasal Covid-19 menjadi bencana adalah sebab pemimpin dunia mengabaikan sains.
Para pemimpin, sejak di hari-hari awal, kehilangan momentum untuk meyakinkan publik dengan landasan yang benar. Hal itu menyebabkan munculnya asumsi bahwa virus asal Wuhan, China, ini bukanlah sesuatu yang berbahaya.
Laporan berjudul Covid-19: Make it the Last Pandemic itu menyebut: “Munculnya Covid-19 ditandai adanya perpaduan antara beberapa tindakan awal yang cepat, namun juga adanya penundaan, keraguan, serta penyangkalan.”
IPPPR merupakan panel independen yang dibentuk atas permintaan negara anggota World Health Organization (WHO) pada Mei tahun lalu. Panel independen ini diketuai oleh mantan Perdana Menteri Selandia Baru, Helen Clark, dan mantan presiden Liberia yang juga penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2011, Ellen Johnson Sirleaf.
Ellen Johnson Sirleaf menyayangkan situasi pandemi hari ini telah berkembang menjadi demikian tak masuk akal. “Sebenarnya bisa dicegah, namun karena begitu banyak pengabaian, perselisihan, penundaan respons, dan ketidaksiapan menyebabkan bencana krisis kemanusiaan ini terjadi.”
Laporan IPPPR juga menyebut WHO terlambat mendeklarasikan status Covid-19 sebagai ‘pandemi’ karena menundanya selama delapan hari. Padahal semestinya, penetapan status itu bisa dilakukan sejak 22 Januari 2020.
IPPPR meyakini wabah tidak akan menyebar begitu cepat seperti hari ini jika tidak ada jeda antara identifikasi pertama di Wuhan dengan deklarasi Covid-19 sebagai ‘Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia’ oleh WHO.
Namun, keterlambatan WHO membuat banyak negara gagap menghadapi Covid-19. Banyak pemimpin dunia ‘tersesat’ pada Februari 2020. Dan hari ini, pandemi telah menyebabkan 3,3 juta jiwa meninggal dunia dan krisis ekonomi di seluruh dunia.
Untuk mencegah bencana serupa terulang, IPPPR menilai sistem peringatan global perlu dirombak. IPPPR juga memberikan rekomendasi penanganan pandemi saat ini, beberapa di antaranya yaitu:
- Negara kaya yang telah divaksinasi dengan baik harus memasukkan 92 negara miskin dalam skema COVAX, setidaknya satu miliar dosis vaksin pada 1 September, dan lebih dari 2 miliar pada pertengahan 2022,
- Negara industri G7 harus membayar 60 persen dari US$19 miliar yang diperlukan dalam mendanai vaksin, diagnostik, serta terapi melalui program Access to Covid Tools Accelerator WHO pada tahun 2021. Sedangkan negara G20 membayar sisanya,
- WHO bersama World Trade Organization harus meminta negara dan produsen utama menyetujui lisensi sukarela dan transfer teknologi vaksin Covid-19. Jika dalam tiga bulan itu belum terjadi, maka pengabaian paten harus dipaksakan.
Indonesia yang Abai Sains
Setelah WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi, pemerintah Indonesia masih menyangkal meskipun pada 1 Maret 2020 sudah terungkap dua warga Depok yang positif Covid-19. Secara aneh, keesokan harinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru mengumumkan insentif pariwisata, baik itu diskon tiket dan tarif hotel di sepuluh daerah wisata Indonesia yang diyakini tidak menjadi episentrum virus.
Sama seperti Jokowi, wakil presiden Ma’ruf Amin pada 11 Maret menyampaikan susu kuda liar khas NTB ampuh menangkal virus Covid yang tengah mewabah di tanah air.
Mantan Jubir pemerintah khusus penanganan Covid Achmad Yurianto juga dianggap tidak sigap. Ia mengatakan: “Yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya,” Pernyataan itu disampaikan pada 27 Maret.
Luhut Binsar Pandjaitan juga yakin jika Indonesia bebas Covid karena tak betah di suhu yang panas. “Dari hasil modelling, cuaca panas Indonesia di ekuator yang panas dan humidity tinggi, maka untuk Covid itu enggak kuat,” kata Luhut pada 2 April 2020.
Masih ada berbagai pernyataan blunder yang menunjukkan pemerintah tidak percaya sains yang pada akhirnya membuat sebagian masyarakat tidak percaya terhadap Covid-19.
Selain itu ada pula perselisihan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah khususnya DKI Jakarta. Saat dua warga Depok positif Covid, Pemprov DKI Jakarta membentuk Tim Tanggap Covid-19 untuk memantau, mencegah, dan menanggulangi virus. Kemudian, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meminta lockdown, namun ditolak oleh presiden Jokowi pada 31 Maret 2020.