BARISAN.CO – Sastrawan Abdul Hadi WM menyatakan bahwa saat ini kita lupa untuk mengembangkan kebudayaan dalam alam pikiran masyarakat Indonesia.
“Akibatnya segala tingkah laku masyarakat, cara berpikir, cara pandang tidak lagi mencerminkan kebudayaan unggul. Hal itu merupakan tanggungjawab sosial dari Pemerintah dan masyarakat sipil secara umum,” sambungnya dalam diskusi Forum Ekonomi Politik Didik J. Rachbini melalui Twitter Space dengan tema “Melihat Indonesia dari Perspektif Sastra dan Kebudayaan,” Rabu (13/10/2021).
Menurut Abdul Hadi, kebudayaan itu sesuatu yang luas, tidak hanya berbicara aspek kesenian dan adat istiadat. Pencapaian-pencapaian Iptek, filsafat, teknologi adalah juga rangkuman dari kebudayaan.
Ia juga menyatakan bahwa kebhinekaan adalah merupakan realitas, tidak terancam tetapi karena kebhinnekaan tidak dijaga maka persatuan kita terancam karena pengingatnya melulu politik, bukan kebudayaan.
“Jadi sekarang masalahnya adalah bagaimana memberdayakan kembali kebudayaan agar kuat dan memperkuat persatuan. Seperti Jepang kebudayaannya kuat dan menjadikan negara itu kuat,” katanya.
Guru Besar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina juga mengingatkan bahwa dalam sejarah di Indonesia tidak ada Perang antar agama.
“Sejarah kita adalah sejarah kita, bukan Eropa. Tidak ada rasisme di indonesia rasisme itu ada dalam kebudayaan barat. Dimana ephos yunani itu yang dibela itu bangsa. Pemujaan berlebihan terhadap nasionalisme,” ujarnya.
Sistem Ekonomi
Menyoroti sistem ekonomi yang hanya mengambil satu sudut kapitalisme saja dan dijalankan di semua pelosok Indonesia.
“Padahal kehidupan sosial ekonomi pedesaan kita sejak dulu tidak mengenal sistem ekonomi liberal,” terangnya
Ia juga mengungkapkan penyeragaman sistem perundang-undangan, yang juga dipaksakan dan tidak mengikuti alur budaya masyarakat lokal.
“Suku Dayak dan Madura baku hantam di Kalimantan dulu antara lain disebabkan oleh masalah lahan yang diatur lewat peraturan perundangan soal pertanahan yang tidak mengikuti alur kearifan budaya lokal,” terangnya.
Abdul Hadi juga mengkritik bahwa tata laksana pemerintahan desa yang harus mengikuti pola pemerintahan di Jawa yakni bupati, lurah, camat.
“Padahal di Minangkabau yang dikenal hanya sistem Nagari, begitu pula contohnya di Aceh (Mukim dan lain-lain) dan Papua yang berbeda dalam memandang tata budaya pemerintahan wilayah desa masing-masing. Jadi tidak bisa diseragamkan,“ jelasnya.
Bahasa dan kebudayaan
Terkait bahasa dan kebudayaan Abdul Hadi mengeluhkan bahwa sejak zaman penjajahan belanda bahasa lokal kita “dibunuh” dan kemampuan berbahasa kita hanya diperkenalkan dengan huruf latin
“Padahal budaya dan Bahasa kita sejak lama hanya mengenal empat Bahasa, Bahasa Arab, Bahasa Melayu, Arab Melayu dan Bahasa Jawa pada kesusasteraan dan tinggalan warisan kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai lingua franka (Bahasa pengantar),” imbuhnya.
Ia juga menyarankan agar kita belajar dari kebudayaan orang Jepang yang amat memperhatikan perkembangan Bahasa. Ia mencontohkan Restorasi Meiji di Jepang justru memulai dengan memuliakan kebudayaan dan perkembangan Bahasa Jepang.
Sehingga karena kuatnya mempertahankan kebudayaan dan bahasa maka masyarakat di Jepang dari atas hingga ke kalangan bawah mempunyai cara pandang yang sama dalam menghadapi arus perubahan atau modernisasi.
“Berbeda dengan bangsa kita yang gampang sekali larut atau berubah kepribadian gara-gara arus kebudayaan modern barat yang masuk dan tidak ada filter penyaring kebudayaan, terpokok melalui pertahanan Bahasa unggul,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan agar kita tidak meremehkan perihal pertahanan budaya melalui bahasa, juga kesusastraan. Substansi bahasa ada dalam Sastra. Kalau Bahasa bisa dipertahankan dengan baik, maka kemampuan berbahasa anak bangsa bisa digunakan dengan baik untuk berekspresi dan berpikir. Karya-karya sastra unggul jaman dulu lahir dari kemampuan berbahasa yang tinggi dari para pendahulu kita.