Scroll untuk baca artikel
Blog

Sejauh Mana Otoritas Menegakkan Aturan Terhadap Truk ODOL?

Redaksi
×

Sejauh Mana Otoritas Menegakkan Aturan Terhadap Truk ODOL?

Sebarkan artikel ini

Aturan truk ODOL perlu lebih tegas dilaksanakan pemerintah. Sudah terlalu banyak korban akibat keberadaan truk hasil modifikasi ini.

BARISAN.COMasih maraknya peredaran truk ODOL (over dimension & over load) patut kembali disorot setelah kecelakaan maut yang terjadi di Balikpapan, Jumat (21/1/2022) kemarin.

Pada kasus itu, tim investigasi yang terdiri dari Kepolisian, Kementerian Perhubungan, dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menemukan adanya perubahan struktur truk tronton.

Truk maut ini telah mengalami perubahan rear over hang (ROH), atau jarak antara garis tengah gardan belakang dan bagian ujung belakang kendaraan.

Meski pihak berwajib belum menyebut apakah modifikasi tersebut turut menyebabkan kecelakaan, sudah menjadi rahasia umum bahwa truk ODOL acap kali membahayakan pengguna jalan lain.

Akibat modifikasi berlebihan, truk ODOL biasanya menjadi lebih susah dikendalikan pengemudi. Beberapa alasannya adalah, pertama, modifikasi membuat area blindspot menjadi lebih besar. Kedua, ruang gerak lebih terbatas karena truk terlalu panjang dan lebih lebar dari seharusnya. Ketiga, bagian depan mudah terangkat. Keempat, yang paling fatal, proses pengereman jadi tidak optimal.

Meskipun sudah terbukti banyak merugikan pengguna jalan, keberadaan truk ODOL justru makin menjamur. Seolah tidak ada yang menegur para pengusaha jasa angkut. Seolah praktik hukum tidak menyentuh para pengemudi truk.

Padahal sebetulnya, pemerintah lewat kemenhub telah menetapkan aturan penindakan terhadap truk ODOL sebagaimana pasal 307 UU No 22 tahun 2009.

Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).”

Namun, pasal inilah yang biasanya jadi check point para otoritas saling lempar tanggung jawab.

Pihak kemenhub, misalnya, acap menilai kepolisian kurang optimal melakukan upaya penegakan hukum di jalan raya. Polisi, sebagai pihak yang memiliki kewenangan menegakkan hukum, dituduh lebih senang kongkalikong dengan pengemudi truk ODOL lewat praktik pungli.

Sebaliknya, pihak kepolisian sebetulnya kurang tepat jika disalahkan. Itu karena pasal-pasal yang dipakai untuk menindak truk ODOL sama sekali tidak memperlihatkan kesungguhan pemerintah.

Pasal 307, jika dibaca secara seksama, menyuratkan bahwa modifikasi truk ODOL hanya termasuk pelanggaran tindak pidana ringan. Dengan demikian, polisi tidak bisa menghukum lebih dari tilang. Justru salah bila polisi menindak truk ODOL lebih dari itu.

Masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan secara kolaboratif. Pemerintah, dalam hal ini kemenhub, harus merumuskan aturan yang baik. Di jalan raya, nantinya aturan itu juga harus ditegakkan polisi dengan baik. Hanya dengan kerja kolaboratif demikianlah harapan Zero ODOL 2023 bisa tercapai dengan baik. [dmr]