“Awal hambatan DP 0 karena urusan komersial itu urusan pemerintah pusat. Padahal, pemerintah daerah itu sudah punya concern. Ini harus kita intervensi supaya orang bisa beli rumah,” Angga Putra Fidrian (Mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di AS)
BARISAN.CO – Berdasarkan tingkat kepentingan, perumahan termasuk dalam kebutuhan primer manusia agar kehidupannya berjalan dengan layak. Namun begitu, merujuk dari survei Perumnas pada akhir tahun lalu, dari 3.007 responden milenial, 24,94 persennya mengaku belum mampu secara finansial dan 17,27 persen responden lainnya merasa belum mampu membayar uang muka (DP).
Dalam akun youtube Pandji Pragiwaksono, mahasiswa Indonesia yang sedang melanjutkan studi di Amerika Serikat, Angga Putra Fidrian mengatakan bahwa saat ini, dia tidak menemukan adanya intervensi negara dalam konteks menjaga harga perumahan.
Pria yang mengambil gelar Master of Public Administration ini menyampaikan intervensi negara saat ini bentuknya DP 0 di Jakarta. Angga menuturkan, kebanyakan orang menganggap rumah itu sebagai investasi bukan kebutuhan utama masyarakat.
“Yang dimaksud investasi adalah saya beli, tahan, dan tidak untuk dijual,” kata Angga pada Kamis (24/3/2022).
Akan tetapi, dia melanjutkan muncul masalah ketika rumah dijadikan unit usaha, seperti dikontrakkan.
“Misalnya Anda punya duit banyak, beli kontrakkan 100 misalnya. Tapi, saya cuma mau harganya ini 6 juta, padahal orang- orang cuma bisa bayar 4 juta. Rata-rata UMR segala macam setelah diperhitungkan harga pasar harusnya 4 juta karena mereka orang kaya yang tidak butuh duit, dijadiin itu investasi, ditahan pokoknya 6 juta sebulan,” ujar Angga.
Pada akhirnya, menurut Angga itu akan berakibat pada naiknya harga sewa dan orang yang tidak mampu, tidak akan bisa menyewa rumah.
“Dan pemerintah tidak pernah punya intervensi. Tidak pernah ada hukumnya,” lanjut Angga.
Urusan Pemerintah Pusat
Angga menambahkan, dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah tertulis bahwa urusan rumah komersial itu urusan pemerintah pusat bukan pemerintah daerah.
“Jadi, sebenarnya itu awal hambatan DP 0 karena urusan komersial itu urusan pemerintah pusat. Padahal, pemerintah daerah itu sudah punya concern. Ini harus kita intervensi supaya orang bisa beli rumah,” tambah lulusan Universitas Padjajaran ini.
Angga menyebut, pemerintah daerah harusnya melobi pusat dan setiap ingin intervensi harus duduk bersama. Terus begitu setiap kali ada keinginan intervensi.
“Kalau menurut saya, pemerintah pusat boleh mengatur, pemerintah daerah juga sebenarnya boleh mengatur, “tutur Angga.
Menurut Angga, dampak dari orang-orang tidak bisa akses membeli rumah dekat dengan pusat kegiatan, maka akan banyak masalah yang terjadi.
“Kayak sekarang, orang tidak pernah kepikiran bikin kompleks rumah di Cisauk atau Jonggol, sekarang itu sudah ada ke sana . Efeknya jadi macet, orang pada beli mobil, polusi, abis waktu di jalan, kualitas hidup menurun, dan macam-macamlah,” ungkap Angga.
Belum Adanya Perlindungan bagi Penyewa
Angga mengungkapkan, belum lama ini di Twitter ada anggapan lebih baik menyewa rumah saja. Kemudian, dia menuturkan, di Indonesia tidak ada perlindungan bagi penyewa.
“Kayak misalnya, tiba-tiba disuruh pindah sama yang punya kontrakan atau naik harganya semena-mena. Itu buat penyewa bukan perlindungan karena tiba-tiba dinaikkan sejuta. Itu lumayan bisa ubah struktur keuangan rumah tangga. Di Indonesia ini juga tidak diatur,” jelasnya.
Saat ini, Angga tinggal di New York, AS. Dia menjelaskan, sekitar 51 persen unit sewa perumahan diatur oleh pemerintah melalui Rent Guidelines Board.
“Misalnya, sekarang harganya US$2000, tahun depan harganya boleh naik, tapi harganya diatur dengan menghitung formulanya. Ini di New York,” papar Angga.
Namun demikian, Angga menyebut, apabila penyewa menolak, maka pemilik gedung tidak boleh menaikkan harga karena penyewa bisa intervensi pemerintahnya.