Dr. Ahmad Ganis mengatakan kebhinekaan Indonesia harus dilihat sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Kesatuan dan persatuan Indonesia bukan transaksional tetapi lebih diikat pada cita-cita..
BARISAN.CO – Sikap radikalisme, intoleransi adalah sikap yang bukan terjadi begitu saja di grassroot, tetapi yang mengcreate intoleransi justru terjadi pada tingkat-tingkat influencer masyarakat yang sering disebut sebagai provokator, yang memprovokasi situasi.
Hal ini disampaikan Dr. Ahmad Ganis, Ketua Pelaksana Badan Pembina Yayasan Paramadina dalam diskusi bertema “Intoleransi, Musuh Bangsa, Musuh Bersama, Membangun Kesalehan Sosial” melalui platform twitter space @paramadina (18/4/2020).
“Memang ada masalah-masalah mendasar yang masih terjadi pada bangsa Indonesia, misalnya perbedaan sosial ekonomi gap yang menganga lebar. Juga pengentalan-pengentalan pemahaman agama, baik agama Islam maupun agama lainnya yang menganggap dengan pengertian sempit bahwa sumber kebenaran adalah pihaknya, dan menafikan kebenaran yang mungkin muncul dari pihak lain,” Katanya.
Ahmad Ganis menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan pandangan politik yang picik, misalnya atas isu-isu lokal sederhana saja dapat menyebabkan konflik horizontal, baik antar desa, suku dan antar agama.
“Itu terjadi misalnya di Ambon, Poso dan tempat-tempat lain. Semuanya adalah route of the problem yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan cara-cara damai dan bijak, di mana para intelektual dan semua pihak mengatasi bersama-sama dengan cara-cara damai,” Imbuhnya.
Menurutnya kebhinekaan Indonesia harus dilihat sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Kesatuan dan persatuan Indonesia bukan transaksional tetapi lebih diikat pada cita-cita dan kesamaan yang luhur dan rasa cinta tanah air Indonesia.
“Itulah yang sering disebut oleh almarhum Nurcholish Madjid sebagai menyatunya Islam dan Kebangsaan. Keagamaan dan Kebangsaan menyatu oleh rasa cinta tanah air,” lanjutnya.
Direktur PUSAD Paramadina, Ihsan Ali Fauzi mengungkapkan bahwa sikap toleransi atau intoleransi bisa diukur dari sikap menerima perbedaan yang dimiliki orang lain.
“Jika terdapat perbedaan tetapi sulit mencari irisan maka keberadaan orang lain akan menjadi beban. Tetapi jika perbedaan bisa dinegosiasikan maka akan sangat bagus. Harus dihindari sikap ketidakseimbangan atau ketidakadilan sosial yang terjadi karena dibungkus dengan agama. Biasanya hal itu terjadi jika agama yang ada membawa klaim-klaim yang mendorong orang melakukan tindakan tidak adil,” terangnya
Menurut Ihsan ada dua cara agar toleransi bisa dijalankan. “Pertama, kesediaan untuk memberi izin (pemission) kepada orang lain. Terutama kepada kelompok lemah yang bisa ditoleransi keberadaannya. Kesediaan memberi izin kepada pihak yang berbeda biasanya bersyarat karena ada power relation yang tidak seimbang, antara satu kelompok besar kepada kelompok kecil baik dari segi jumlah, asset, tidak hanya agama tapi juga etnis dan bisa juga usaha. Pemberian izin bisa terjadi tetapi disertai beberapa syarat tertentu,” ujarnya.
“Kedua, saat ini sudah ada payung dari segi kehidupan sebagai kewarganegaraan modern. Dengan perlindungan sebagai warga negara, maka seseorang meski lemah tetap mendapatkan toleransi karena berkedudukan sejajar sebagai sesama warga negara. Posisi sesama warga negara menjadi saling menghormati sebagai sesama warga negara meskipun memiliki perbedaan,” imbuhnya.
Variable yang dianggap paling kuat untuk menjadikan seseorang toleran atu tidak, adalah pada sisi perception of trap. Aspek psikologis menjadi salah satu sikap prediktor paling kuat. Perception of trap tidak berubah ketika merasa terancam atau ada infomasi baru terlebih di era medsos misalnya.
“Buzzer menjadi bermain pada wilayah itu. Ketika terdapat masalah yang sebetunya sedang-sedang saja, tetapi oleh buzzer diesktrimkan sedemikian rupa sehingga penerima informasi menjadi terdorong mengambil sikap negatif. Bahkan bukan hanya mengambil sikap, tetapi karena buzzer seseorang dapat mengambil langkah tindakan yang keliru,” pungkasnya.