“Sehingga dalam authorship terkadang senior dituliskan namanya terlebih dahulu dibandingkan yuniornya walaupun kontribusinya dalam riset tidak signifikan. It’s still happened for sure“. Fitri Khoerunnisa (Ahli KImia)
BARISAN.CO – Berdasarkan data University of Stavanger (UIS), jumlah ilmuwan perempuan di dunia kurang dari 30 persen. Di tengah kesulitan meraih gelar, mereka juga harus berjuang melawan kesenjangan gender untuk mendapatkan pengakuan.
Mengutip Guardian, ilmuwan perempuan cenderung tidak menerima kredit kepenulisan atau disebutkan namanya dalam paten yang terkait dengan pekerjaannya dibanding dengan rekan laki-laki mereka.
Kesenjangan itu juga masuk akal jika nama Rosalind Franklin tidak tercatat. Meski, Rosalind memiliki andil besar dalam penemuan struktur DNA, namun awalnya tidak dikenali sama sekali. Sebab, namanya tidak disebutkan pada jurnal Nature. Tertulis hanya nama James Watson dan Francis Crick. Keduanya bahkan disebut sebagai pencuri.
“Kami telah lama mengetahui, perempuan menerbitkan dan mematenkan pada tingkat yang lebih rendah daripada laki-laki. Namun, karena data sebelumnya tidak pernah menunjukkan siapa yang berpartisipasi dalam penelitian, tidak ada yang tahu alasannya,” kata Profesor Julia Lane dari New York University, yang memimpin penelitian baru tersebut.
Dia dan rekan-rekannya menganalisis data administratif pada proyek penelitian yang dilakukan di 52 perguruan tinggi dan universitas AS antara tahun 2013 dan 2016.
Kemudian, dicocokkan informasi tentang 128.859 ilmuwan dengan 39.426 artikel jurnal dan 7.675 paten, melihat orang-orang yang bekerja pada proyek individu menerima kredit justru bukan yang melakukannya.
Ditemukan, rata-rata di semua jabatan dan bidang pekerjaan, laki-laki dua kali lebih mungkin disebutkan dalam jurnal ilmiah atau paten ketimbang perempuan oleh tim penelitinya.
Kesenjangan ini terlihat di bidang yang didominasi perempuan seperti kesehatan dan bidang yang didominasi laki-laki seperti teknik, khususnya tampak selama tahap awal karir perempuan. Hanya 15 dari 100 perempuan pascasarjana yang pernah disebut sebagai penulis di sebuah publikasi dibandingkan dengan 21 dari 100 rekan laki-laki mereka.
“Ada kesenjangan yang jelas antara perempuan dan laki-laki disebut sebagai rekan penulis pada publikasi. Kesenjangannya kuat, persisten, dan independen di bidang penelitian,” ujar Julia.
Dia juga mengungkapkan kekhawatiran, hal ini akan menghalangi perempuan muda untuk berkarir di bidang sains.
Tim peneliti juga mensurvei lebih dari 2.400 ilmuwan yang diterbitkan, menanyakan apakah mereka pernah dikeluarkan dari makalah yang mereka sumbang dan alasan ini terjadi. Sebanyak 43 persen perempuan dikeluarkan dari publikasi sedangkan laki-laki 38 persen.
Penjelasan paling umum adalah orang lain meremehkan publikasi mereka, namun untuk perempuan dua kali lebih mungkin didiskriminasi atau bias, sementara laki-laki lebih cenderung menyebut, kepengarangannya tidak terjamin.
Menanggapi hal itu, ahli kimia, Fitri Khoerunnisa mengaku, dirinya belum pernah mengalami diskriminasi seperti itu.
“Malah sebaliknya, bisa berkontribusi untuk membawa peneliti lain baik laki-laki atau perempuan sebagai co–authorship sesuai andilnya masing-masing,” kata Fitri kepada Barisanco, Jumat (1/7/2022).
Namun, Fitri tidak menampik kasus seperti itu mungkin bisa terjadi.
“Isu bias gender di dunia akademik saya kira masih banyak ditemukan. Semestinya hal ini tidak perlu terjadi di bidang akademik dan riset karena basisnya adalah expertise dan competence yang tidak diferensiasi dari gender, tapi betul-betul dari track record dan kompetensinya,” ungkap Fitri.
Perempuan asal Garut itu mengatakan, kultur yang ada memberikan ruang hegemoni kepada kaum laki-laki sehingga besar kemungkinan menjadi sumber isu tersebut.