Scroll untuk baca artikel
Risalah

Paradoks Self-Love

Redaksi
×

Paradoks Self-Love

Sebarkan artikel ini

Mencintai diri sendiri dan semua kekurangannya sebenarnya bisa sangat berbahaya.

BARISAN.CO – Makna self-love berarti memberi kita kepercayaan diri, harga diri, dan secara umum, merasa lebih positif. Jika kita dapat belajar untuk mencintai diri sendiri, maka kita akan merasa lebih bahagia dan akan belajar untuk merawat diri sendiri dengan lebih baik.

Saat melihat ke cermin, kebanyakan dari kita melihat banyak kekurangan yang berbeda dan mengingat terlalu banyak pengalaman masa lalu dan kegagalan untuk mencintai diri sendiri. Semakin sedikit rasa cinta, mendengarkan, dan memahami diri sendiri ini membuat kita semakin bingung, kesal, dan frustrasi dalam hidup. Namun, ketika mulai memahami pentingnya self-love dan terus mencintai diri sendiri lebih dan lebih setiap hari, perlahan-lahan kita akan menjadi sedikit lebih baik dalam segala hal.

Sayangnya, mencintai diri sendiri tidak selalu mudah. Menerima rasa sakit dan berlaku jujur ​​​​tentang siapa kita adalah langkah besar untuk memulainya. Memaafkan tindakan masa lalu dan hal-hal yang membuat kita malu untuk melakukannya.

Ini membawa banyak emosi negatif seperti cemburu, jijik, dan marah bisa berdampak negatif. Kita perlu belajar menerima tidak hanya emosi yang menciptakan cinta, kegembiraan, dan kebahagiaan, tetapi juga emosi yang menyebabkan ketakutan, ketidakamanan, dan kemarahan dalam hidup kita.

Sementara kita belajar, kita juga perlu berdamai dengan hati yang dingin dan tidak terbuka. Menanyakan pada diri sendiri apakah kita sepenuhnya mencintai diri sendiri bisa sangat sulit karena harus menerima kekurangan dan kesalahan kita sendiri.

Namun, di sisi lain, Michael Puett dari Universitas Harvard berpendapat bahwa mencintai diri sendiri dan semua kekurangannya sebenarnya bisa sangat berbahaya. Michael berargumen, para filsafat Tiongkok kuno akan sangat tidak setuju dengan kecenderungan afirmasi diri saat ini.

Mengutip Quartz, filosofi Cina yang dipelajari Michael mempertanyakan, apakah kita harus menerima dan merayakan diri kita apa adanya atau berusaha untuk mengubah dan memperbaiki sifat dasar kita.

“Asumsi umum yang dibuat sebagian besar dari kita tentang diri adalah tujuan kita sebagai individu untuk melihat ke dalam, menemukan diri kita yang sebenarnya, dan mencoba untuk menjadi seotentik dan sejujur ​​mungkin pada diri kita sendiri. Tapi, ini mengansumsikan kita tidak stabil,” katanya.

Sebaliknya, banyak tradisi filosofis China yang berasal dari Konfusius membayangkan “self” lebih sebagai produk kebiasaan yang berantakan daripada esensi batin yang didefinisikan dengan jelas.

“Sejak usia yang sangat muda, kita akan membentuk pola merespons dunia. Pola-pola itu akan mengeras dan menjadi apa yang secara keliru kita sebut sebagai kepribadian,” tambahnya.