SESOSOK mayat tanpa kepala keluar dari liang lahat. Ia duduk-duduk di pemakaman umum. Tak jauh dari situ, sekelompok polisi sibuk bekerja.
Mayat itu adalah korban pembunuhan. Ia dibunuh, kepalanya dipotong dan tubuhnya dibakar beserta sepeda motornya.
Mayat itu sudah tiga hari duduk-duduk saja. Ia tak bisa kemana-mana tanpa kepala. Ia menunggu kepalanya ditemukan agar bisa bercerita apa yang sesungguhnya terjadi.
Sementara itu, ratusan kilometer di tengah lautan, kepala sang mayat terapung-apung. Ikan-ikan tak ada yang mendekat untuk memakannya.
“Betapa perih leherku. Luka ini begitu perih terkena air laut,” keluhnya.
Sang kepala ingin bercerita tentang apa yang ia alami. Tapi ia butuh saksi. Adalah tubuhnya, satu-satunya yang bisa bersaksi secara jujur.
Pada hari keempatpuluh, terjadi badai besar di lautan. Kepala itu sampai diterbangkan ke daratan. Mendarat persis di depan kantor tempatnya bekerja. Kantor yang mengurus aset-aset negara.
Dengan dahinya ia mengetuk pintu, saat itu semua pegawai sudah pulang. Hanya ada satu cleaning service tua yang masih menyelesaikan pekerjaannya.
“Pak, mohon jangan ganggu saya. Selesai tugas ini saya akan segera pulang,” kata cleaning service.
“Pak Saged nggak usah takut. Saya nggak akan ngganggu, malah mau minta tolong,” kata kepala mayat lirih dan lembut.
“Saya hanya ingin bercerita tentang apa yang saya alami. Saya percaya pak Saged bisa mengerti posisi saya,” lanjutnya.
Begitulah hampir empat jam kepala mayat itu bercerita. Sageddi Pietados, sang cleaning service diam dan manggut-manggut. Ia angkat kepala sang mayat, lalu dia taruh diatas meja.
Tak ada dialog, Sageddi hanya menjadi pendengar. Sesekali ia menawari minum, tapi kepala mayat itu terus menolak.
“Saya nggak bisa minum, nanti airnya bablas keluar dari pangkal leher saya pak, haha,” kata kepala mayat itu sambil tertawa.
Tak ada lagi rasa takut dalam benak Sageddi. Ia bahkan merasa menjadi manusia terpilih yang bisa mendengar cerita si kepala mayat.
“Saya ini dibunuh. Dan saya menangkap ada skenario kalah saya adalah seorang koruptor. Saya akan dinistakan, dihina, bahkan mati dalam keadaan tak utuh,” kata kepala mayat.
Sageddi merinding. Tak pernah membayangkan bahwa seorang kepala bidang tempatnya bekerja adalah seorang pembunuh.
“Pak Sageddi bayangkan, bagaimana nama saya rusak di keluarga dan masyarakat. Memang benar skenario itu kasar karena saya dibunuh, tapi lihat saja, nanti polisi akan berkata pembunuhan atas diri saya tak ada kaitannya dengan kasus korupsi yang saya tahu. Saya akan difitnah karena dendam pribadi, karena perempuan, dan masih banyak lagi,” kata kepala mayat.
Usai ngobrol selama enam jam, kepala mayat minta Sageddi merahasiakan pertemuannya. Mereka berjanji akan bertemu keesokan harinya dan keesokan hari berikutnya. Menuntaskan cerita yang masih tersimpan.
Kekhawatiran si kepala mayat mulai muncul. Berita yang tersebar di masyarakat menyebutkan bahwa hasil tes DNA mayat yang dimutilasi adalah dirinya.
“Kita masih terus menyelidiki. Kita fokus pada kasus pembunuhan ini. Kasus korupsi yang sedianya korban akan bersaksi kita tangguhkan dulu sampai pelakunya tertangkap,” kata komandan polisi, dikutip dari berbagai media online.
Begitulah. Kepala mayat tiap hari bercerita sambil menunggu Sageddi menyelesaikan pekerjaannya. Ini berlangsung sampai berhari-hari. Sementara polisi juga bergerak sangat lambat, dan masyarakat mulai tak lagi memperhatikan kasus ini, mulai berpindah ke berita lain, tentang kemunculan artis baru yang cantik.
“Saya memang bersalah. Tapi satu-satunya kesalahan saya adalah mengetahui korupsi di kantor ini. Kesalahan lain adalah ikutan dari kesalahan pertama,” kata kepala mayat.