Laporan University of Toronto mengungkapkan, penggunaan gas air mata di seluruh dunia mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia yang merajalela dan konsekuensi kesehatan serius, sambil menekan aktivitas politik yang sah.
BARISAN.CO – Gas air mata pertama kali digunakan dalam Perang Dunia I dalam perang kimia. Namun, karena efeknya berlangsung singkat dan jarang melumpuhkan, gas air mata mulai digunakan oleh lembaga penegak hukum sebagai sarana untuk membubarkan massa, melumpuhkan perusuh, dan mengusir tersangka bersenjata tanpa penggunaan kekuatan mematikan.
Pada Agustus 1914, pasukan Prancis menembakkan granat gas air mata ke parit Jerman di sepanjang perbatasan antara kedua negara. Sementara rincian yang tepat dari peluncuran gas air mata pertama ini tidak jelas, sejarawan menandai Pertempuran Perbatasan ini sebagai bentrokan pertama Perang Dunia I antara Prancis dan Jerman kemudian dikenal sebagai hari lahir dari apa yang akan menjadi gas air mata modern.
Gas air mata awal ini dihasilkan dari upaya ahli kimia Prancis, pada pergantian abad ke-20, untuk mengembangkan metode baru pengendalian kerusuhan sambil bermanuver di sekitar pembatasan perjanjian internasional yang dikenakan pada “proyektil yang diisi dengan gas beracun” oleh Konvensi Den Haag tahun 1899.
Dirancang untuk memaksa orang keluar dari balik barikade dan parit, gas air mata menyebabkan mata dan kulit terbakar, robek, dan tersedak. Saat orang-orang melarikan diri dari efeknya, mereka meninggalkan perlindungan dan rekan mereka. Selain akibat fisik, gas air mata juga memicu teror.
Seperti yang Amos Fries, kepala Layanan Perang Kimia Angkatan Darat AS katakan tahun 1928.
“Lebih mudah bagi manusia untuk mempertahankan moral dalam menghadapi peluru daripada di hadapan gas yang tidak terlihat.”
Saat ini, gas air mata adalah bentuk yang paling umum digunakan dari apa yang dikenal dalam jargon penegakan hukum sebagai kekuatan “kurang mematikan”.
Penggunaan gas air mata dalam peperangan, seperti halnya semua senjata kimia lainnya, dilarang oleh Protokol Jenewa tahun 1925: protokol tersebut melarang penggunaan “gas sesak napas atau jenis gas, cairan, zat, atau bahan serupa lainnya”, sebuah perjanjian yang sebagian besar negara bagian telah menandatangani.
Peneliti Anna Feigenbaum telah banyak menulis tentang bagaimana gas air mata dalam pengendalian kerusuhan domestik sekarang terkait erat dengan gerakan protes dan demonstrasi. Ini juga berarti jual beli gas air mata dalam skala besar dalam berbagai konteks, sehingga membuka pintu bagi perdagangan komersial.
Berdasarkan informasi di platform Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri, tahun 2022 dianggarkan Rp160 miliar lebih untuk membeli pelontar serta amunisi gas air mata.
Dilansir dari Berkeley University of California, rekan peneliti di Pusat Hak Asasi Manusia Berkeley Law, Dr. Rohini Haar menyampaikan, sebagian besar orang yang terpapar gas air mata akan mengalami gejala sementara dan kesakitan, tetapi akan sembuh.
Namun, menurutnya, penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan gas air mata di seluruh dunia saat ini sudah menyebabkan lebih banyak cedera.
“Ketika tabung gas air mata ditargetkan atau mengenai kepala seseorang, itu dapat menyebabkan patah tulang tengkorak dan kematian. Ketika digunakan secara berlebihan atau di ruang tertutup atau ketika orang tidak dapat melarikan diri, mereka dapat menderita cedera yang lebih serius, luka bakar akibat bahan kimia, masalah pernapasan yang parah atau kerusakan pada mata atau selapun lendir lainnya dan orang bahkan bisa terinjak-injak,” jelasnya.
Haar menambahkan, hampir tidak mungkin menggunakan gas air mata dengan cara yang aman untuk memastikan pembubaran massa secara teratur.
“Hampir tidak ada undang-undang internasional atau nasional tentang keamanan, konten, atau penjualannya. Ketika polisi menggunakannya, harus ada pembenaran yang masuk akal untuk penggunaaan dan akuntabilitasnya ketika disalahgunakan,” tambahnya.