“Bolehkah mendung datang di pagi hari?” tanyamu suatu ketika.
“Mendung itu bisa dan boleh datang kapan saja sesuka dia mau,” jawabku tenang.
“Oh jadi seperti ketika kita jatuh cinta ya? Bisa saja cinta itu musnah dalam sekejap, berubah menjadi rinai hujan,” katamu sambil menatap langit yang menggelap.
Percakapan itu sebenarnya sudah terjadi 30 tahun silam. Tepatnya di minggu-minggu terakhir bulan November. Sama seperti pagi ini.
Kau lalu bercerita, bagaimana sebuah mendung bisa meluluhlantakkan harapan. Sejatinya kau masih terlalu muda untuk berpikir dalam.
“Kau tahu, apa yang kusukai dari mendung?” tanyamu tiba-tiba.
“Hmmm, kau ingat kenangan manismu barangkali,” aku menebak.
“Oh bukan. Yang kusukai dari mendung ada banyak. Pertama saat pagi, kadang mendung membuatku malas berbuat apapun. Saat itu aku jadi punya waktu untuk meneliti segala lekuk liku laku langkahku,” jawabku.
Ah, kau memang hebat memilih kata. Itu mungkin yang menggumpalkan kekagumanku padamu.
Air sungai Progo masih mengalir deras. Tetap berwarna kecoklatan seperti biasa. Permukaannya sedemikian tenang, namun di dalamnya pasti mengalir deras.
“Jika mendung terjadi siang hari,” kau melanjutkan ceritamu. “Ini juga Kusuka, karena saat siang, akan memaksa untuk bergerak. Mulai dari urusan jemuran, hingga sikap kemrungsung karena takut kehujanan. Mendung siang selalu membuatku masuk dalam dunia kompetisi. Kompetisi melawan kecepatan turunnya hujan,” katamu.
Aku memandang sorot mata teduh. Ada poni yang menutup nonong jidatmu. Kalau bahasa Indonesia menyebutnya jenong. Persetan dengan segala nonong atau jenong. Tapi kau saat itu begitu anggun.
Jauh di seberang, seorang pemancing mendapatkan seekor ikan Beong ukuran besar. Ikan itu ditarik dan menggelepar di batu-batu kali Progo ini.
“Kalau mendung terjadi di senja hari, itu yang sering terjadi. Senja sering membawa kemurungan. Dan kemurungan itu akan disempurnakan dengan datangnya mendung. Semoga kau paham maksudku,” katamu.
“Jadi, mendung itu haruskah dirayakan?” tanyaku.
“Hukumnya tidak wajib. Ayo kita ke hilir, di dekat laut pantai Glagah biasanya mendungnya berbeda,” kau bangkit dan mengajak pergi.
Kami melangkah menyusuri sungai kharismatik ini. Mendung masih menggelap dan semakin menggelap. Suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari belakang. Ah, air bah rupanya datang.
Saat aku berusaha menepi agar terhindar dari banjir, kau malah menarikku. “Kita rayakan mendung saat senja di pagi ini,” bisikmu.
Saat air menggulung tubuh kami, aku sudah lupa segalanya. Tapi kulihat tubuhku dan tubuhnya masih bergandengan, seperti tidur dan tersangkut di batu besar.
“Bukankah itu kita? Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Ssssttt…..kita sedang merayakan mendung. Tenanglah,” jawabmu. [] [] []