Catatan untuk:
MATI KETAWA CARA TEGAL
FRASA ketawa cocok untuk buku Mati Ketawa Cara Tegal Zaini Bisri. Kita akan tertawa nonton Cak Lontong, tapi kita ketawa melihat pembangunan kota Tegal. Jadi, ada diksi sinisme dalam buku yang mengkritisi pembangunan Tegal ala Walikota Dedy Yon.
Barangkali ada pujian dalam pembangunan Jl Pancasila. Tapi sukses itu sekadar menggusur bangunan warung yang menutup wajah arsitektur Belanda Water Leideng (sekarang PDAM).
Selebihnya adalah kegagalan, karena pedestriannya juga tergusur. Lalu pertanyaan, dengan maksud apa, Jalan yang tidak ada satu kilometer menjadi lebar tanpa pedestrian bagi pohon, burung dan manusia.
Selebihnya, Beraou 1937 hanya dicet dan diberi pagar. Juga taman Pancasila dipagar — entah apa maksudnya — sementara lapangan masih mangkrak. Tidak ada kesadaran bahwa ruang publik sekitar stasiun itu adalah satu kesatuan.
Kesalahan awal kala Walikota M Zakir memindah pasar alun-alun ke lapangan PJKA|KAI sisi barat lengkap dengan pembetonannya. Padahal satu kesatuan ruang publik itu (pedestrian, halaman Beraou, taman, lapangan) juga berfungsi sebagai tanah resapan — termasuk hutan kota di depan SMP-N 1, dan kemudian alun-alun.
Ada ketidak-jelasan mendasar atas pembangunan alun-alun, lengkap dengan pembetonan, rumput plastik, play deck dan air muncrat. Betapa alun-alun seluas itu disempitkan fisik dan fungsi dan nilai|makna kagunannya menjadi sekadar taman selfie.
Lebih parah jalan protokol A Yani yang disempitkan dengan pelebaran trotoar kiri-kanan. Dimaksudkan akan menjadi serupa Malioboro van Tegal. Lalu-lintas pun menjadi satu arah.
Pembangunan penuh ambisi itu dibungkus dengan nama City Walk, dan diharapkan akan berjajar food truck sebagai pengganti warung-warung lesehan. Pada kenyataannya City Walk sampai pada saat ini hanya ada pedagang angkringan.
Semua pembangunan bergengsi itu tentu saja menggusur ratusan UMKM beserta keluarga yang dirugikan. Protes berlangsung selama proses pembangunan plus kamuflase lockdown. Tapi tidak ada pembelaan dari DPRD. Kota Tegal benar-benar kosong Wakil Rakyat.
Katakanlah pembangunan kota Tegal bagai nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaannya, bisakah bubur itu kita jadikan bubur ayam. Hanya satu solusinya, Dedy Yon harus bertanggung jawab, ke depan dia mesti terpilih lagi sebagai Walikota.
Dalam diri tiap manusia ada hak dan tanggungjawab. Dan Dedy Yon tidak boleh: tinggal gelanggang colong playu.***