ADA yang menganggap bahwa kehidupan ini tak ubahnya hanyalah sebuah pertarungan abadi antara hitam dan putih, antara benar dan salah atau antara surga dan neraka saja. Di sisi yang lain ada pula manusia yang beranggapan bahwa dunia ini adalah harmoni yang saling memberi dan menerima secara terbuka. Diantara keduanya tentu saja terdapat manusia yang menagguk keuntungan dari kedua pandangan tersebut.
Karakter yang pertama diwakili oleh sosok bernama Sukandar. Warga Dukuh Ngelegok utara agak ke tengah dari girli biasa memanggilnya dengan Kandar begitu saja. Asli dari Bojonegoro. Selain memiliki dialek yang khas, Kandar selalu memandang kehidupan ini antara haram dan halal saja. Baginya tak ada sedikitpun wilayah yang abu-abu.
Tahun baru dan Natal sudah lewat lebih dari seminggu, tapi Kandar masih saja mempersoalkan ucapan tahun baru dan Natal. Jamaah mushola Baitul Akbar kalaupun masih bersedia mendengarkan celotehnya, itu semua bukan berarti mereka tertarik oleh dalil-dalil yang diusung oleh Kandar. Tetapi hal itu sebenarnya hanyalah keinginan warga untuk sekedar menikmati saja dialek khas Bojonegoronya yang lucu.
Bagaimana tidak lucu, setiap kali berbicara Kandar selalu menambah akhiran leeh atau em pada setiap kalimatnya. Akhiran leeh seperti sebuah penegasan atau apa gitu,sementara akhiran em adalah untuk menunjukkan tentang kepemilikan atas sesuatu.
“Ora ngono leeh!” Artinya Benar-benar tidak begitu. Dan akhiran leeh ini biasanya intonasinya sedikit lebih panjang atau nggalur dalam bahasa Jawa. Pokoknya asyik saja dan lucu kalau mendengarkan Kandar berbicara. Sehingga membuat betah saja kalau mengobrol dengan Kandar.
“Bapak-em mau nang ngendi leeh?” artinya sebenarnya bapakmu tadi ke mana?”
Suatu pagi Kandar sepulang sholat Subuh diajak mampir sebentar ke rumah Dulkamdi si ketua takmir Mushola Baitul Akbar Dukuh Nglegok utara agak ket tengah dari girli. Begitu pantatnya menyentuh kursi teras Dulkamdi, Kandar langsung mengomentari lonceng angin yang tergantung di teras rumah Dulkamdi.
“Haram hukumnya meniru-niru umat agama lain. Lonceng itu identitas orang Nasrani. Itu adalah ajakan untuk beribadah ke Gereja,” seloroh Kandar sambil tatapan matanya mengamati lonceng angin yang terbuat dari batang-batang pipa aluminium tersebut.
Padahal dalam hati sebenarnya Kandar sangat mengagumi suara lonceng angin tersebut. Namanya juga lonceng angin jadi ya akan selalu berdentang setiap kali angin berhembus. Suaranya yang mirip gamelan Jawa itu seperti membawa suasana teras rumah Dulkamdi yang rindang itu semakin agak gimana gitu.
Dan asyiknya lagi, tak sedikitpun Dulkamdi membantah omongan Kandar. Bahkan menjawab dengan senyuman saja tidak. Ia asyik saja mensruput kopi dan mengunyah singkong rebus yang dihidangkan oleh istrinya sembari menikmati dialek kandar yang lucu.
Lain dengan Kandar lain pula dengan Mustajab. Tetangga Dulkamdi yang satu ini boleh dibilang antitesisnya Kandar. Mustajab selalu berprinsip bolah-boleh saja. Natal dan Tahun Baru kemarinpun, Mustajab seperti biasanya mendatangi Pak Frans, pendeta yang tinggal di gang sebelah. Ia sengaja datang untuk mengucapkan Selamat hari Natal dan Tahun Baru meski hanya dari balik pintu pagar rumah pendeta tua yang hidup sebatang kara tersebut. Kalau sudah begitu biasanya Pak Frans lalu menyambutnya dengan tergopoh-gopoh.
Dan Saking tergopoh-gopohnya, kadang kala pendeta tua itu tak menyadari kalau sandal yang dipakainyapun kuwalik antara kanan dan kirinya. Tangannya yang sudah berkeriput itupun segera membukakan pintu lalu mengajak siapa saja yang datang bersama Mustajab untuk masuk. Tapi biasanya Mustajab menolaknya dengan halus. Bagi Mustajab ucapan selamat Natal seperti itu sebuah kelumrahan belaka. Dan ketika ia ditegur oleh Kandar, lelaki asal Kartosuro itu dengan ringan menjawab :