Ketahanan ekonomi bukan hanya soal angka pertumbuhan, tetapi kemampuan daerah untuk melindungi warganya dari guncangan.
KONDISI ekonomi Jawa Tengah pada tahun 2025 menghadirkan tantangan yang unik dan mendesak. Di tengah berbagai krisis global, tekanan fiskal domestik, dan perubahan iklim ekonomi digital yang begitu cepat, muncul sebuah diskursus yang menggugah: “Ketahanan Ekonomi Jateng di Masa Sableng.”
Diskusi publik dengan tema tersebut digelar oleh Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jawa Tengah (FWPJT), bekerja sama dengan Sekretariat DPRD Jawa Tengah dan Bank Jateng, di Gedung Merah Putih, Lantai 10 Kantor BPKAD Provinsi Jawa Tengah, pada Rabu (16/07/2025)
Di tengah derasnya perubahan ekonomi global dan disrupsi sosial, juga tantangan multidimensi yang datang bertubi-tubi mulai dari fluktuasi ekonomi dunia, ketegangan geopolitik, inflasi domestik, sampai tekanan perubahan iklim telah memaksa setiap daerah untuk menguji daya tahannya.
Di sinilah pentingnya membicarakan ketahanan ekonomi, bukan sekadar sebagai konsep makroekonomi, tetapi sebagai ikhtiar kolektif untuk menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Ketahanan ekonomi Jawa Tengah bukan hanya soal angka pertumbuhan, melainkan tentang bagaimana daerah ini mampu melindungi warga dari guncangan, menata ulang fondasi struktural, dan tetap memberi ruang bagi harapan.
Konsep “ketahanan ekonomi” mencakup kemampuan suatu wilayah untuk bertahan, menyesuaikan diri, dan pulih dari tekanan baik eksternal maupun internal, tanpa kehilangan kapasitas dasarnya dalam memproduksi barang, menciptakan nilai tambah, dan menjaga keseimbangan distribusi serta konsumsi.
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi dengan potensi sumber daya manusia dan alam yang besar, tentu memiliki keunggulan tersendiri. Namun, keunggulan itu tidak akan memberi makna jika tidak dikelola dalam sistem yang adaptif dan berkeadilan.
Apalagi saat ini banyak kabupaten/kota di provinsi ini masih bergantung pada dana pusat, yang membuat fleksibilitas fiskal menjadi sangat terbatas dalam merespons krisis lokal secara cepat.
Tantangan paling nyata terlihat dalam ketimpangan antarwilayah. Wilayah utara Jawa Tengah masih dominan dalam kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan wilayah selatan cenderung tertinggal dari sisi infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, dan peluang investasi.
Ketahanan ekonomi tidak akan pernah tercapai jika ketimpangan ini terus dibiarkan. Pemerataan pembangunan harus menjadi prinsip utama, bukan hanya dalam narasi politik, tetapi dalam praktik anggaran, proyek strategis, dan intervensi sosial.
Kegagalan memahami bahwa pemerataan adalah syarat bagi keberlanjutan hanya akan memperbesar potensi guncangan yang tidak bisa ditanggulangi secara lokal.