Penurunan angka pengangguran di Jawa Tengah tidak menggambarkan perbaikan kualitas kerja, melainkan menutupi kondisi pekerja yang memburuk.
Oleh: Lukni Maulana
PENURUNAN angka pengangguran di Jawa Tengah pada Februari 2025 tampaknya menjadi kabar baik di atas kertas. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat sebesar 4,33 persen, turun tipis dari tahun sebelumnya.
Namun, di balik statistik itu tersimpan ironi besar: kondisi para pekerja justru semakin memburuk. Data BPS menunjukkan bahwa meskipun jumlah penduduk bekerja naik menjadi 20,92 juta orang, sebagian besar dari mereka terjebak dalam pekerjaan informal dan berkualitas rendah.
Sebanyak 60,45 persen atau 12,65 juta orang dari pekerja berada di sektor informal yang minim perlindungan sosial, tidak stabil, dan rawan terhadap guncangan ekonomi.
Kenaikan jumlah pekerja bukan mencerminkan keberhasilan menciptakan lapangan kerja yang layak, melainkan akibat dari tekanan ekonomi yang memaksa lebih banyak orang memasuki pasar kerja demi bertahan hidup.
Salah satu indikator penting adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang mencapai 73,17 persen angka tertinggi dalam lebih dari satu dekade.
Kenaikan ini, alih-alih menunjukkan semangat produktif, justru mengindikasikan keterpaksaan ekonomi, di mana penduduk usia kerja baik laki-laki maupun perempuan terpaksa mencari pekerjaan apa pun karena tidak ada pilihan lain.
Bahkan sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan terakhir bagi tenaga kerja menyerap 26,69 persen pekerja, menandakan sektor ini semakin menjadi tempat pelarian ketimbang pilihan rasional.
Sementara itu, sektor industri pengolahan dan perdagangan memang mencatat pertumbuhan, namun belum cukup menyerap tenaga kerja yang memiliki pendidikan tinggi.
Ironi besar lainnya tampak pada lulusan perguruan tinggi. TPT untuk lulusan Diploma IV, S1, hingga S3 masih tergolong tinggi, yaitu 5,44 persen.
Ini menunjukkan bahwa peningkatan pendidikan belum diiringi dengan penciptaan lapangan kerja sesuai kompetensi.
Banyak lulusan perguruan tinggi justru mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak atau bahkan pekerjaan apa pun.
Ketimpangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan riil dunia kerja menjadi sorotan penting, yang menunjukkan belum adanya integrasi antara kebijakan pendidikan, industri, dan ketenagakerjaan.
Kondisi memburuk juga terlihat dari besarnya jumlah pekerja tidak dibayar. Sebanyak 2,55 juta orang bekerja sebagai pekerja keluarga tanpa upah, suatu bentuk kerja yang secara statistik dianggap “bekerja” oleh BPS, namun dalam kenyataannya mendekati status pengangguran terselubung.
Selain itu, tingkat setengah pengangguran yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan tambahan masih tinggi, yaitu 6,73 persen.