Konser “Kumpul Kekuatan” di Semarang menjelma ruang perlawanan, mengingatkan kembali September Hitam dan para aktivis HAM yang gugur.
BARISAN.CO – Malam itu, Sabtu 20 September 2025, Auditorium Universitas Diponegoro menjelma menjadi arena yang berdenyut seperti jantung perlawanan.
Lampu-lampu panggung berpendar, asap tipis mengepul, dan ribuan manusia berdesakan bukan hanya untuk menonton konser. Mereka datang untuk menyatu dalam satu energi: “Kumpul Kekuatan.”
Di atas panggung, nama-nama yang tak asing bagi telinga penggemar musik perlawanan bergantian mengisi ruang.
Kaukab band muda dengan wajah-wajah lama memulai gebrakan. Meski baru seumur jagung, mereka sudah menyusun narasi sejarah dengan suara gitar, dentum drum, dan tiupan saxophone yang menembus dada.
Ketika lagu “Durjana” dimainkan, Lukni Maulana berdiri di depan mikrofon, melafalkan bait-bait puisi perlawanan.
Kata-kata itu seperti peluru, menghantam kesadaran penonton, menghidupkan ingatan akan luka yang tak boleh pudar.
Sukatani menyusul dengan energi yang nyaris tak bisa ditahan. Mereka seperti obor yang dilemparkan ke tengah ruangan, membakar semangat bersama.
Lalu Majelis Lidah Berduri muncul, mengukuhkan reputasi mereka sebagai kolektif yang tak pernah jinak oleh wacana komersial.
“Tan Malaka” menggema, menghadirkan bayangan sosok revolusioner yang tak pernah selesai diperbincangkan.
Penonton larut, seolah Tan sendiri hadir, mengajak menimbang kembali arti kebebasan. “Cahaya, Harga” dan “Bioskop Pisau Lipat” melengkapi ritual malam itu: musik yang tak hanya menghibur, tetapi juga mengingatkan bahwa sejarah selalu punya luka yang belum sembuh.
Di sela dentuman musik, orasi singkat Adetya Pramandira menyayat malam: “Ketidakadilan harus dilawan!” Sorak sorai meledak, lebih nyaring daripada amplifier panggung.
Kata-kata itu tak sekadar slogan. Ia menjelma kompas moral, mengingatkan bahwa konser ini bukan sekadar pesta, melainkan bagian dari rangkaian “September Hitam”.
September adalah bulan ingatan. Ingatan akan Munir yang diracun di atas langit; Widji Thukul yang hilang tanpa kabar; Marsinah yang tubuhnya ditemukan setelah menolak tunduk; dan para aktivis reformasi yang dipaksa lenyap dari peta sejarah resmi.
Nama-nama itu hadir malam itu, tak disebutkan dalam daftar penampil, tetapi hidup di antara dentuman musik dan teriakan solidaritas.
“Kumpul Kekuatan” menjadi ruang di mana pesan-pesan besar dipatri ulang: “Jangan Ada Gamma yang Kedua”, jeritan agar tragedi kekerasan negara tak kembali terjadi; “Semarang Berapi”, simbol bahwa kota ini tak pernah kehilangan bara perlawanan; “Reset Indonesia”, doa sekaligus tekad untuk mengembalikan negeri ke arah yang adil.









