Dari duka Sumatera hingga ruang sastra, perlawanan terhadap korupsi menemukan bentuknya dalam kata dan rasa.
Oleh: Sudarmono
(Penggiat PMK Muntilan)
PRAY for Sumatra. Duka yang mendalam kita sampaikan kepada saudara-saudara kita di Pulau Sumatera, mulai dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat.
Bencana yang terjadi pada November kemarin seharusnya ditetapkan sebagai bencana nasional. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Yang tampak justru sebatas wacana dan omon-omon, seolah tak sebanding dengan besarnya penderitaan yang dialami masyarakat.
Situasi ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional. Peralihan kepemimpinan menuju Presiden ke-8 berlangsung di tengah warisan persoalan berat dari era Presiden ke-7, terutama kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Akibatnya, negara tampak kedodoran dalam merespons dan menyiasati kondisi alam yang telah rusak secara sistemik.
Kerusakan tersebut bermuara pada bencana geologi yang menelan banyak korban bukan hanya harta benda, tetapi juga nyawa warga yang tak tertolong karena medan dan cuaca yang buruk.
Sebagai penggiat PMK (Puisi Menolak Korupsi), peristiwa ini kami maknai sebagai udara rasa—sebuah visualisasi konkret yang kerap hadir dalam puisi-puisi perlawanan.
Puisi menjadi medium untuk menolak korupsi, baik melalui satu karya, beberapa puisi, maupun dalam bentuk antologi bersama.
Teori sebab-akibat patut dikemukakan: salah satu akar persoalan kerusakan lingkungan dan lemahnya tata kelola adalah perilaku korupsi yang telah berlangsung sangat lama.
Ironisnya, korupsi tidak menunjukkan tren penurunan, justru cenderung meningkat di ranah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Gerakan PMK sendiri terus berkembang dan kini menjadi gerakan puisi menolak korupsi berskala nasional.
Gerakan ini pertama kali diluncurkan di Kantor KPK, lembaga antirasuah, pada tahun 2014. Sebagai bagian dari evaluasi, Konferensi Nasional Gerakan Puisi Menolak Korupsi diselenggarakan di Semarang pada 6–7 Agustus 2016 dengan tema Refleksi dan Evaluasi Tiga Tahun Gerakan PMK.
Di Magelang, Jawa Tengah, semangat tersebut kembali dihidupkan melalui kegiatan bertema Ruang Silaturahmi: Mengenang yang Telah Kembali.
Acara berupa malam diskusi dan pembacaan puisi ini dilaksanakan pada 6 Desember 2025 di Rumah Melur Seruni, Dusun Desa Madyogondo, Ngablak, Magelang.
Kegiatan tersebut dihadiri para penyair se-Jawa Tengah, mulai dari Tegal, Pekalongan, Pemalang, Batang, Ungaran, Semarang, Temanggung, Purbalingga, Purwokerto, Purworejo, Jepara, Kudus, Wonogiri, hingga Muntilan dan Magelang.
Acara ini sekaligus menjadi ruang doa bersama untuk mengenang para penyair dan penggiat PMK yang telah wafat hampir bersamaan, yakni sahabat-sahabat kita Abi Widjanarko, Dharmadi, dan Suyitno Ethex.









